Permainan randai dibawakan banyak orang. Mereka bermain membentuk lingkaran. Sambil melangkah sedikit demi sedikit secara perlahan mereka menyanyi bergantian. Sebelum menyanyi mereka membuat gerakan pencak dengan langkah maju, mundur ke dalam, memperkecil lingkaran, lalu keluar lagi. Adakalanya mereka menyepak, menerjang atau memukul dengan tangan. Sesudah itu, mereka berjalan sambil bernyanyi. Selesai menyanyi mereka kembali melakukan gerakan pencak. Begitulah seterusnya.
Tari dalam randai bersumber dari tari pencak dan dari gerakan silat. Ketika melingkar, mereka menggunakan gerak pencak. Gerak pencak dilakukan secara bervariasi sebagai pengembangan dari gerak dasar pencak dan silat. Gerakan antara pemain ada yang seragam dan ada yang berlawanan. Gerakan-gerakan itu mereka mainkan dengan sangat mahir. Setiap penyelesaian suatu gerakan pencak, biasanya mereka bertepuk tangan dan mengeluarkan lengkingan. Tepuk tangan dan lengkingan itu biasanya dikomandokan oleh seorang yang juga berada di dalam lingkaran itu.
Silat dilakukan dalam perkelahian. Perkelahian tokoh, sebagai puncak dari ketegangan konflik menggunakan gerakan silat. Dua orang tokoh berhadapan, saling menyerang, menghantam, dan berusaha mengalahkan lawannya. Tendangan, pukulan, dan terjangan dilakukan secara terbatas sehingga tidak menciderai lawan. Gerakan silat yang dilakukan, sebenarnya adalah pura-pura, perkelahian yang bukan sebenarnya. Akan tetapi, terlihat kepada penonton sebagai perkelahian sebenarnya, sehingga menimbulkan ketegangan.
Adakalanya, dalam perkelahian itu, pemain juga menggunakan senjata tajam seperti pisau, golok dan keris. Kemahiran pemain membuat penonton benar-benar seperti menyaksikan perkelahian yang sebenarnya.
Jadi,gerakan tari dalam randai bersumber dari dua gerakan, yaitu gerakan pencak dan gerakan silat. Gerakan pencak dilakukan pada saat pemain melingkar dan gerakan silat dilakukan pada saat perkelahian antara seorang tokoh dengan tokoh lain.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Silat dilakukan dalam perkelahian. Perkelahian tokoh, sebagai puncak dari ketegangan konflik menggunakan gerakan silat. Dua orang tokoh berhadapan, saling menyerang, menghantam, dan berusaha mengalahkan lawannya. Tendangan, pukulan, dan terjangan dilakukan secara terbatas sehingga tidak menciderai lawan. Gerakan silat yang dilakukan, sebenarnya adalah pura-pura, perkelahian yang bukan sebenarnya. Akan tetapi, terlihat kepada penonton sebagai perkelahian sebenarnya, sehingga menimbulkan ketegangan.
Adakalanya, dalam perkelahian itu, pemain juga menggunakan senjata tajam seperti pisau, golok dan keris. Kemahiran pemain membuat penonton benar-benar seperti menyaksikan perkelahian yang sebenarnya.
Jadi,gerakan tari dalam randai bersumber dari dua gerakan, yaitu gerakan pencak dan gerakan silat. Gerakan pencak dilakukan pada saat pemain melingkar dan gerakan silat dilakukan pada saat perkelahian antara seorang tokoh dengan tokoh lain.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.