Menurut garis keturunan matrilineal, pemilik harta di Minangkabau adalah kaum wanita (yang telah dewasa). Laki-laki hanya berhak untuk memelihara dan mengembangkannya tetapi tidak untuk memilikinya.
Harta pusaka yaitu warisan yang menurut adat Minangkabau diterima dari mamak oleh kemenakannya. Setiap harta pusaka selalu dijaga dan dipelihara agar tetap utuh. Keutuhan harta ini dipertahankan untuk menjaga keutuhan kaum kerabat. Pada saatnya, harta ini diturunkan lagi kepada generasi berikutnya secara utuh. Dengan demikian, harta pusaka tersebut tetap bertahan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Meskipun diturunkan dari mamak kepada kemenakannya, namun kemenakan laki-laki tidak berhak memilikinya. Sedangkan penggunaan hasil harta dan harta pusakanya diatur oleh perempuan yang disebut ibu (perempuan yang telah dewasa). Oleh karena itu, di Minangkabau, pemilik harta ialah kaum perempuan, bukan kaum laki-laki.
Ibu sebagai pemilik harta, berusaha menggunakannya sesuai dengan ketentuan adat. Hasil sawah, misalnya, ia simpan di dalam rangkiang. Setiap rangkiang memiliki fungsinya masing-masing. Jadi, oleh ibu, penggunaan harta pusaka itu dibagi dua. Pertama, untuk kebutuhan keluarga sehari-hari. Yang digunakan untuk keperluan keluarga itu adalah hasilnya, bukan harta itu sendiri.
Kedua, untuk kebutuhan yang mendadak, yaitu kebutuhan yang tidak terduga. Jika hasil tidak mencukupi, harta itu sendiri dapat dipergunakan. Akan tetapi dibatasi untuk kegunaan tertentu. Menurut adat Minangkabau, harta itu sendiri dapat dipergunakan untuk empat hal yaitu, rumah gadang katirisan, gadih gadang alun balaki, maik tabujua tangah rumah, dan pambangkik batang tarandam. Untuk keempat hal tersebut, jika hasil tidak mencukupi, harta itu sendiri dapat dipergunakan. Semua itu diatur oleh ibu sebagai pemilik harta.
Jadi, di dalam masyarakat Minangkabau yang matrilineal, harta dikuasai oleh laki-laki tetapi dimiliki oleh kaum perempuan. Perempuan (ibu) adalah pengatur dan pengguna harta itu.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
image: www.zurrahmahwordpress.com