Setiap rumah gadang memiliki rangkiang yang berderet di halaman dan berjumlah lebih dari satu. Rangkiang itu berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan padi setelah musim menuai, sesudah panen. Bentuknya ada yang bergonjong dua seperti rumah gadang dan ada pula yang tidak bergonjong.
Setiap rangkiang memiliki nama dan fungsi masing-masing. Rangkiang “sitinjau lawik”, adalah rangkiang yang berguna untuk menyimpan padi setelah panen. Padi yang ada di dalam rangkiang ini berguna untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga yang tidak dapat dibuat sendiri. Letaknya di tengah-tengah rangkiang yang lain. tipenya lebih langsing dari yang lain, berdiri di atas empat tiang penyanggah.
Selanjutnya, adalah rangkiang “si bayau-bayau” yaitu rangkiang tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Bahan makanan sehari-hari keluarga di ambil dari rangkiang ini. Tipenya gemuk, berdiri di atas enam tiang. Letaknya di sebelah kanan rangkiang yang lain.
Berikutnya, adalah rangkiang “si tenggang lapa” yaitu rangkiang yang digunakan untuk menyimpan padi cadangan. Pada masa paceklik padi ini digunakan untuk membantu masyarakat yang kekurangan dan orang-orang yang membutuhkan. Tipenya bersegi berdiri di atas empat tiang.
Terakhir, adalah rangkiang “kaciak” yaitu rangkiang yang digunakan sebagai tempat menyimpan padi abuan. Padi yang ada di dalam rangkiang ini berguna untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong bangunannya lebih kecil dan lebih rendah. Terkadang berbentuk bundar, berlainan dengan rangkiang yang lain.
Secara umum fungsi rangkiang adalah untuk menyimpan padi keluarga rumah gadang. Padi itu, selain dipergunakan untuk kebutuhan intern rumah gadang, juga dimanfaatkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Setiap rangkiang memiliki nama dan fungsi masing-masing. Rangkiang “sitinjau lawik”, adalah rangkiang yang berguna untuk menyimpan padi setelah panen. Padi yang ada di dalam rangkiang ini berguna untuk membeli barang-barang kebutuhan rumah tangga yang tidak dapat dibuat sendiri. Letaknya di tengah-tengah rangkiang yang lain. tipenya lebih langsing dari yang lain, berdiri di atas empat tiang penyanggah.
Selanjutnya, adalah rangkiang “si bayau-bayau” yaitu rangkiang tempat menyimpan padi yang akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Bahan makanan sehari-hari keluarga di ambil dari rangkiang ini. Tipenya gemuk, berdiri di atas enam tiang. Letaknya di sebelah kanan rangkiang yang lain.
Berikutnya, adalah rangkiang “si tenggang lapa” yaitu rangkiang yang digunakan untuk menyimpan padi cadangan. Pada masa paceklik padi ini digunakan untuk membantu masyarakat yang kekurangan dan orang-orang yang membutuhkan. Tipenya bersegi berdiri di atas empat tiang.
Terakhir, adalah rangkiang “kaciak” yaitu rangkiang yang digunakan sebagai tempat menyimpan padi abuan. Padi yang ada di dalam rangkiang ini berguna untuk benih dan biaya mengerjakan sawah pada musim berikutnya. Atapnya tidak bergonjong bangunannya lebih kecil dan lebih rendah. Terkadang berbentuk bundar, berlainan dengan rangkiang yang lain.
Secara umum fungsi rangkiang adalah untuk menyimpan padi keluarga rumah gadang. Padi itu, selain dipergunakan untuk kebutuhan intern rumah gadang, juga dimanfaatkan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.