Makna Kampuang berdasarkan Adat Minangkabau

Di pedesaan, di nagari, orang-orang satu suku biasanya tinggal dalam satu kelompok. Di dalam wilayah itu hanya terdiri dari satu suku saja, misalnya suku koto. Di sekitar daerah itu hanya terdapat rumah orang-orang suku koto saja. Nah, itu kampuang tersebut dinamakan kampuang suku koto. Jadi kampuang itu adalah suatu wilayah yang didiami oleh orang yang sukunya sejenis saja. Tidak bercampur dengan orang suku lain.

Kepala kampuang disebut “tuo kampuang” yang dijabat oleh seorang penghulu suku. Penghulu ini disebut juga “penghulu andiko”.

Arti 'Kampuang' Menurut Adat Minangkabau

Kampuang adalah bagian dari suatu nagari. Di dalam suatu nagari terdapat sejumlah kampuang. Jika kampuang dianggap tempat berkelompoknya satu suku, dan syarat suatu nagari sekurang-kurangnya ada empat suku, maka dalam satu nagari sekurang-kurangnya terdapat 4 kampuang.

Wilayah yang dijadikan perkampungan oleh suatu suku adalah tanah kaumnya. Ia mendirikan perkampungan di atas tanah milik sukunya. Tanah itu disebut tanah milik kaum atau tanah pusaka kaum. Oleh karena pemilik tanah itu adalah kaum, maka tidak dapat dijual dan dijadikan milik individu. Mereka memilikinya secara turun temurun dari nenek moyangnya. Selamanya akan menjadi milik kaum.

Di dalam wilayah tersebut orang-orang dari suku lain tidak di izinkan mendirikan. Oleh karena tanahnya tidak akan dijual. Di dalam wilayah kampung itu juga terdapat pandam pekuburan. Pusara tempat dikuburkannya anggota kaum sekampun itu. Semua anggota kaum yang meninggal dikuburkan di pandam pekuburan tersebut. kadang-kadang, sumando atau suami kemenakan yang meninggal juga dapat dikuburkan disitu selama mendapat izin dari familinya.

Biasanya, di wilayah kampung juga terdapat surau. Surau merupakan tempat mendidik anak kemenakan. Selain untuk mendidik cara beragama juga membimbing dan mendidik kemenakan dalam adat, budi pekerti, dan tatacaraa di dalam kampung. Hal yang lebih penting adalah sebagai asrama bagi kemenakan yang masih bujang. Oleh karena di atas rumah gadang tidak ada tempat bagi anak laki-laki.
 


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.



image: blogdetik.com


Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال