Acara puncak arak-arak “tabuik” (bahasa Indonesia: tabut) berlangsung pada 10 Muharram. Tabuik yang diarak berbentuk beranda. Di atasnya bertengger seekor burung Buraq, yaitu seekor burung dengan kepala seperti kepala manusia. Buraq itu dinaungi payung tiruan yang bertaburan bunga. Tabuik diusung oleh puluhan orang. Mereka mengoyak-oyak tabuik tersebut sambil berteriak memanggil nama Husein. Teriakan berlangsung menurut irama gerakan yang dilakukan saat membawa tabuik tersebut. di belakangnya, terdapat pengiring pemain debus yang menyiksa badannya dengan menusukan besi runcing, pisau dan besi yang dipanaskan ke badan. Besi dibakar dengan suluh daun kelapa. Kadang-kadang mereka membakar dirinya dengan suluh itu.
Penyiksaan diri yang dilakukan pengiring tabuik tersebut mengisahkan rasa penyesalan, mengapa harus Husein yang meninggal dalam peperangan itu. Mengapa tidak mereka pengikutnya yang mati. Di belakangnya pemain tansa (drum) dengan puluhan pemukul gendang (tambur). Pada 10 Muharram itu dilanjutkan dengan permainan indang (rebana kecil), mereka berzikir sambil mengungkapkan kisah Hasan dan Husein yang mati terbunuh. Esok harinya tabuik di arak lagi untuk dibuang ke laut.
Acara puncak itu sebenarnya rentetan dari acara sebelumnya. Acara dimulai pada 1 Muharram. Hari pertama itu adalah mengambil tanah ke dasar sungai. Mengambil tanah ini sebagai simbol mengambil jasad Husein yang terbunuh. Kemudian tanah itu dimasukkan ke dalam periuk. Periuk dibungkus dengan kain putih, seolah-olah mereka mengafani mayat. Periuk diletakkan di atas sebidang tanah yang dilingkari dengan kain putih pula. Seolah-olah mayat diletakkan disebuah benteng yang berpagar putih.
Hari berikutnya, mereka mulai membuat tabuik. Tabuik berbentuk keranda untuk mengusung mayat. Pada hari kelima, tengah malam, orang pergi mengambil pohon pisang. Pohon pisang dipancung dengan parang sekali putus. Hal ini melambangkan pembalasan anak Husein terhadap pembunuh ayahnya.
Hari ketujuh dimulai dnengan mengarak jari-jari, yaitu semacam maket sebuah kubah yang terbuat dari kertas kaca dengan bingkai bambu. Kertas itu digambari sepotong tangan jari-jari yang terkembang. Di dalam maket itu dipasang lilin. Jari-jari itu diarak dari rumah ke rumah sambil menyanyikan lagu duka tentang peristiwa terbunuhnya Husein. Arak-arakan itu mengisahkan pengikut Husein yang sedang mencari jari-jari dan serpihan tubuh Husein yang dicencang oleh musuh. Lalu jari-jari itu disatukan dengan tanah di dalam periuk. Hari berikutnya, jari-jari itu diarak lagi keliling kampung. Pada hari kesembilan, mereka mengarak surban Husein yang ditemukan. Kemudian dilanjutkan dengan acara pada hari kesepuluh.
Biasanya tabuik yang diarak itu bukan satu. Setiap kampung atau beberapa kamu di Pariaman membuat tabuik untuk diarak. Masing-masing diarak di sekitar kampung mereka. ada perbatasan kampung. Ketika arak-arakan antara satu kampung bertemu dengan kampung lain, suasana panas. Mereka saling mengejek dan kadang-kadang sampai terjadi perkelahian. Akan tetapi begitu acara tabuik selesai, mereka rukun kembali.
Pada saat mengarak tabuik terjadi kebisingan dan kericuhan. Ada yang berteriak-teriak sesuai irama, sehingga suara itu menimbulkan kericuhan yang luar biasa. Sementara itu kedengaran suara tansa (drum) yang menggetarkan. Diantara suara tansa itu kedengaran pula puluhan gendang (tambur) yang dipukul. Jadi karawitan atau alat musik pengiring tabuik tersebut adalah drum dan tambur.
Pada malam harinya mereka mengadakan permainan indang (rebana kecil). Malam itu mengisahkan kisah Hasan dan Husein. Karawitannya adalah rebana yaitu semacam drum kecil tetapi bentuknya lebih tipis.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Acara puncak itu sebenarnya rentetan dari acara sebelumnya. Acara dimulai pada 1 Muharram. Hari pertama itu adalah mengambil tanah ke dasar sungai. Mengambil tanah ini sebagai simbol mengambil jasad Husein yang terbunuh. Kemudian tanah itu dimasukkan ke dalam periuk. Periuk dibungkus dengan kain putih, seolah-olah mereka mengafani mayat. Periuk diletakkan di atas sebidang tanah yang dilingkari dengan kain putih pula. Seolah-olah mayat diletakkan disebuah benteng yang berpagar putih.
Hari berikutnya, mereka mulai membuat tabuik. Tabuik berbentuk keranda untuk mengusung mayat. Pada hari kelima, tengah malam, orang pergi mengambil pohon pisang. Pohon pisang dipancung dengan parang sekali putus. Hal ini melambangkan pembalasan anak Husein terhadap pembunuh ayahnya.
Hari ketujuh dimulai dnengan mengarak jari-jari, yaitu semacam maket sebuah kubah yang terbuat dari kertas kaca dengan bingkai bambu. Kertas itu digambari sepotong tangan jari-jari yang terkembang. Di dalam maket itu dipasang lilin. Jari-jari itu diarak dari rumah ke rumah sambil menyanyikan lagu duka tentang peristiwa terbunuhnya Husein. Arak-arakan itu mengisahkan pengikut Husein yang sedang mencari jari-jari dan serpihan tubuh Husein yang dicencang oleh musuh. Lalu jari-jari itu disatukan dengan tanah di dalam periuk. Hari berikutnya, jari-jari itu diarak lagi keliling kampung. Pada hari kesembilan, mereka mengarak surban Husein yang ditemukan. Kemudian dilanjutkan dengan acara pada hari kesepuluh.
Biasanya tabuik yang diarak itu bukan satu. Setiap kampung atau beberapa kamu di Pariaman membuat tabuik untuk diarak. Masing-masing diarak di sekitar kampung mereka. ada perbatasan kampung. Ketika arak-arakan antara satu kampung bertemu dengan kampung lain, suasana panas. Mereka saling mengejek dan kadang-kadang sampai terjadi perkelahian. Akan tetapi begitu acara tabuik selesai, mereka rukun kembali.
Pada saat mengarak tabuik terjadi kebisingan dan kericuhan. Ada yang berteriak-teriak sesuai irama, sehingga suara itu menimbulkan kericuhan yang luar biasa. Sementara itu kedengaran suara tansa (drum) yang menggetarkan. Diantara suara tansa itu kedengaran pula puluhan gendang (tambur) yang dipukul. Jadi karawitan atau alat musik pengiring tabuik tersebut adalah drum dan tambur.
Pada malam harinya mereka mengadakan permainan indang (rebana kecil). Malam itu mengisahkan kisah Hasan dan Husein. Karawitannya adalah rebana yaitu semacam drum kecil tetapi bentuknya lebih tipis.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.