Suatu nagari terdiri dari satu kesatuan wilayah, satu kesatuan masyarakat, dan satu kesatuan adat. Selain itu juga memiliki sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Oleh karena itulah nagari harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Jika syarat tersebut dapat terpenuhi, maka wilayah tersebut bisa dikatakan sebagai nagari.
Suatu ungkapan di dalam undang-udang nagari menyebutkan sebagai berikut:
Babalai - bamusajik
Basuku – banagari
Bakorong – bakampuang
Balabuah – batapian
Basawah – baladang
Bagalanggang – pamedanan
Bapandam – bapakuburan
Babalai artinya memiliki balai. Balai adalah tempat bermusyawarah bagi Niniak Mamak, Penghulu, Nan Gadang Basa Batuah. Di balai tersebut mereka mengadakan rapat, membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan masyarakat. Balai tersebut adat dua macam. Ada balai yang berlindung yang dibangun seperti rumah gadang, beratap dan berlantai. Ada “balai nan bapaeh” yaitu tempat terbuka di tanah lapang. Balai ini disebut juga “medan nan bapaneh”.
Bamusajik artinya memiliki masjid. Mesjid adalah lambang kuatnya agama Islam di dalam nagari. Masjid selain sebagai tempat untuk beribadah, juga digunakan sebagai tempat menerima pelajaran agama dan penyuluhan agama bagi masyarakat. Sebuah nagari harus memiliki sekurang-kurangnya satu masjid.
Basuku artinya memiliki suku. Sebuah nagari, sekurang-kurangnya harus terdapat empat suku atau empat sako. Setiap suku dimpimpin oleh seorang penghulu. Jadi nagari bisa berdiri jika di daerah tersebut ada empat orang penghulu suku dengan masing-masing membawahi sukunya.
Banagari artinya memiliki nagari. Nagari adalah wilayah, maksudnya memiliki nagari atau wilayah di dalam daerah tertentu. Di wilayah itulah suku itu menetap.
Bakorong – Bakampuang artinya memiliki korong dan perkampuang. Setiap nagari memiliki batas tertentu. Biasanya dibuat parit atau pagar. Wilayah yang terletak di lingkungan pusat dinamakan korong dan yang berada di luar lingkungan itu dinamakan taratak, dusun, koto yang ketiganya disebut “kampuang”.
Balabuah artinya terdapat jalan raya. Di sebuah nagari harus terdapat jalan yang merupakan alat vital bagi masyarakat. Jalan raya tersebut harus ada dalam sebuah nagari, sebab jalan raya merupakan jantung perekonomian.
Batapian artinya memiliki tempat mandi dan terdapat sumber mata air. Hal ini juga menjadi syarat sebuah nagari berdiri. Sebab mata air sangat penting bagi masyarakat.
Basawah – Baladang artinya memiliki sawah dan ladang sebagai sumber kehidupan. Setiap nagari harus memiliki sawah dan ladang. sebab sawah dan ladang adalah sumber kehidupan ekonomi masyarakat. Dengan kata lain, sebuah nagari harus memiliki sumber hidup masyarakatnya.
Bagalanggan – Bapamedanan artinya memiliki gelanggang dan lapangan tempat anak nagari dan anak-anak muda bermain. Gelanggang juga dapat dipakai untuk tempat mengadakan pertunjukkan dan berbagai acara lainnya.
Bapandam – Bapakuburan artinya ada tempat untuk menguburkan mayat jika ada orang yang meninggal dunia. Di pandam pakuburan tersebut juga tersedia tempat yang cuku untuk mengadakan upacara pakuburan. Jadi nagari harus memiliki tempat penguburan dan ada tempat untuk upacaranya.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.