Syarat-Syarat Peresmian Pengangkatan Penghulu Baru di Sumatera Barat

Penghulu bergelar datuak, adalah gelar kebesaran di alam Minangkabau. Oleh karena itu, peresmian pengangkatan penghulu dilaksanakan dengan upacara adat. Tatacara upacara itu diatur menurut adat dalam suatu nagari. Akan tetapi, secara garis besar ditetapkan di dalam adat Minangkabau. Upacara ini disebut juga dengan ‘malewakan gala” atau mengumumkan gelar kepada masyarakat nagari.

Upacara peresmian biasanya dilaksanakan di “medan nan bapaneh” (di lapangan). Marawa dan panji-panji kebesaran dikibarkan, gong dipalu sepanjang hari, kerbau disembelih. Perjamuan dilaksanakan selama tiga hari.

Syarat Peresmian Pengangkatan Penghulu Baru

Hari pertama

Hari pertama disebut “batagak gadang” (mendirikan penghulu), yaitu apacara peresmian. Upacara berlangsung di rumah gadang, dihadiri oleh “urang nan ampek jinih”, serta pemuka masyarakat. Penghulu yang sesuku atau sekaum dengan yang diangkat menyampaikan pidato penobatan. Isinya, meminta agar penghulu baru diangkat itu dibawa sehilir semudik di dalam nagari. Kemudian penghulu tertua di dalam pasukuan itu memasangkan deta saluak di atas kepala yang diangkat dan menyisipkan sebilah keris di pinggangnya. Akhirnya diucapkan sumpah sakti jika ia menyimpang dari tugasnya. Sumpah tersebut berbunyi “dimakan biso kawi, di ateh indak bapucuak, di bawah indak baurek, di tangah lariak kumbang”. Selesai pengucapan sumpan, dibacakan doa selamat. Kahirnya hadirin dipersilahkan menyantap jamuan yang hidangkan.

Hari Ketiga

Hari kedua merupakan hari perjamuan. Semua anak nagari, undangan dan orang-orang terpandang dalam nagari dijamu makan dan minum. Acara hari kedua ini dimeriahkan dengan kesenian anak nagari.

Hari Ketiga

Hari ketiga adalah hari perarakan. Arak-arakan diantar oleh tari gelombang diiringi oleh bunyi-bunyian. Penghulu baru diarak ke rumah bakonya. Jika yang diangkat itu penghulu pucuak, arak-arakan memakai payung kuning kebesaran.

Upacara yang diuraikan diatas merupakan acara pokok yang bersifat umum yang berlaku di Minangkabau. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya sangat ditentukan oleh adat yang dipakai di dalam nagari tertentu.


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال