Masyarakat Minangkabau hidup berkelompok. Kelompok itu ditandai oleh suku. Orang-orang yang tergabung dalam suku itu disebut sekaum atau satu kaum. Setiap kaum dipimpin oleh seorang laki-laki, yaitu laki-laki yang berasal dari kaum tersebut. laki-laki tersebut dipilih, dilakukan menurut adat. Orang yang dipilih untuk memimpin kaum itu dinamakan “mamak kapalo kaum” (mamak kepala kaum).
Satu kaum biasanya terdiri dari beberapa tungganai. Ada kaum yang terdiri dari dua tungganai, ada yang tiga, bahkan lebih. Sebagai pemimpin kaum, mamak kepala kaum biasanya seseorang memakai gelar pusaka “datuak” dengan jabatan sebagai penghulu kaum. Jadi mamak kepala kaum adalah penghulu di dalam kaumnya.
Pengangkatan mamak kepala kaum ditentukan oleh adat yang berlaku. Adat yang berlaku di Minangkabau memiliki dua kelarasan yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Jika kaum itu menganut kelarasan Koto Piliang, pengangkatan mamak kepala kaumnya turun temurun, yaitu dari mamaknya yang terdahulu menjadi kepala kaum kepada kemenakannya. Pengangkatan tidak dipilih, tetapi diturunkan oleh mamak sebelumnya. Jika kelarasan Bodi Caniago, mamak tersebut dipilih kaumnya.
Sebagai kepala kaum, seorang mamak memiliki tanggung jawab terhadap kaumnya. Ia juga menjadi pemimpin secara adat. Ia berkewajiban melindungi, membimbing, dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kemenakannya. Selain itu, ia juga menjadi hakim terhadap perkara yang timbul di dalam kaumnya. Seperti yang diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) Minangkabau sebagai berikut:
Pusek jalo kumpulan ikan,
Ka pai tampek batanyo,
Ka pulang tampek babarito,
Mamagang hukum adia,
Bakato bana,
Kusuik kamanyalasaian,
Karuah kamanjanihan.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira menjadi seperti berikut:
Pusek jalo kumpulan ikan,
Pusat jala kumpulan ikan,
Ka pai tampek batanyo,
Akan pergi tempat bertanya,
Ka pulang tampek babarito,
Kalau pulang tempat berberita,
Mamagang hukum adia,
Memegang hukum adil,
Bakato bana,
Berkata yang benar,
Kusuik kamanyalasaian,
Kusut akan menyelesaikan,
Karuah kamanjanihan.
Keruh akan menjernihkan.
Berdasarkan tanggung jawabnya yang berat tersebut, mamak kepala kaum adalah orang yang arif, orang yang bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya tersebut bersumber dari pengetahuannya yang dalam tentang adat dan agama. Ia memiliki budi pekerti yang luhur serta memiliki wibawa yang tinggi terhadap kemenakannya. Ia disegani kemenakannya, karena budinya tidak pernah kelihatan, tidak pernah melakukan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Satu kaum biasanya terdiri dari beberapa tungganai. Ada kaum yang terdiri dari dua tungganai, ada yang tiga, bahkan lebih. Sebagai pemimpin kaum, mamak kepala kaum biasanya seseorang memakai gelar pusaka “datuak” dengan jabatan sebagai penghulu kaum. Jadi mamak kepala kaum adalah penghulu di dalam kaumnya.
Pengangkatan mamak kepala kaum ditentukan oleh adat yang berlaku. Adat yang berlaku di Minangkabau memiliki dua kelarasan yaitu Koto Piliang dan Bodi Caniago. Jika kaum itu menganut kelarasan Koto Piliang, pengangkatan mamak kepala kaumnya turun temurun, yaitu dari mamaknya yang terdahulu menjadi kepala kaum kepada kemenakannya. Pengangkatan tidak dipilih, tetapi diturunkan oleh mamak sebelumnya. Jika kelarasan Bodi Caniago, mamak tersebut dipilih kaumnya.
Sebagai kepala kaum, seorang mamak memiliki tanggung jawab terhadap kaumnya. Ia juga menjadi pemimpin secara adat. Ia berkewajiban melindungi, membimbing, dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kemenakannya. Selain itu, ia juga menjadi hakim terhadap perkara yang timbul di dalam kaumnya. Seperti yang diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) Minangkabau sebagai berikut:
Pusek jalo kumpulan ikan,
Ka pai tampek batanyo,
Ka pulang tampek babarito,
Mamagang hukum adia,
Bakato bana,
Kusuik kamanyalasaian,
Karuah kamanjanihan.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira menjadi seperti berikut:
Pusek jalo kumpulan ikan,
Pusat jala kumpulan ikan,
Ka pai tampek batanyo,
Akan pergi tempat bertanya,
Ka pulang tampek babarito,
Kalau pulang tempat berberita,
Mamagang hukum adia,
Memegang hukum adil,
Bakato bana,
Berkata yang benar,
Kusuik kamanyalasaian,
Kusut akan menyelesaikan,
Karuah kamanjanihan.
Keruh akan menjernihkan.
Berdasarkan tanggung jawabnya yang berat tersebut, mamak kepala kaum adalah orang yang arif, orang yang bijaksana. Kearifan dan kebijaksanaan yang dimilikinya tersebut bersumber dari pengetahuannya yang dalam tentang adat dan agama. Ia memiliki budi pekerti yang luhur serta memiliki wibawa yang tinggi terhadap kemenakannya. Ia disegani kemenakannya, karena budinya tidak pernah kelihatan, tidak pernah melakukan kesalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
image: www.boyyendratamin.com
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
image: www.boyyendratamin.com