Rumah gadang dimuliakan dan disucikan oleh orang Minangkabau. Setiap orang yang naik ke rumah gadang akan mencuci kakinya lebih dahulu. Di bawah tangga disediakan tempat air yang disebut “cibuak mariau”. Tempat berpijak ketika mencuci kaki disediakan batu ceper yang disebut “btu telapakan”, untuk mengambil air disediakan timba yang disebut “tarian bapanto”. Jadi sebelum naik ke rumah gadang seseorang selalu mencuci kakinya.
Seseorang yang bertamu ke rumah gadang, dari halaman telah memberi aba-aba. Perempuan yang datang bertamu akan berseru dari halaman, apakah ada orang di rumah. Ia tidak langsung saja menaiki tangga dan membuka pintu. Jika laki-laki yang bertamu, biasanya aba-aba yang diberikan adalah mendehem atau batuk-batuk kecil. Aba-aba yang diberikan itu merupakan kearifan tersendiri bagi masyarakat Minangkabau yang sekaligus menunjukkan kehalusan rasa yang dimilikinya.
Pemilik rumah, jika mendengar seruan atau deheman tamu akan bersiap-siap menerima tamu. Rumah yang mungkin kurang rapi, segera dirapikan. Rumah disapu dan tikar di bentangkan. Jadi, pada hakikatnya aba-aba dari tamu merupakan bentuk komunikasi konversional antara tuan rumah dengan tamunya. Hal itu merupakan kesepakatan yang telah dipahami oleh tamu dan penghuni rumah gadang.
Berbicara di rumah gadang memerlukan tenggang rasa yang tinggi. Artinya, “raso dan pereso” menjadi patokan. Hal itu mengingat rumah gadang adalah tempat tinggal bersama bagi warga saparuik. Pembicaraan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu penghuni yang lain. selain itu, berbicara diiringi dengan sopan santun yang telah di atur sedemikian rupa.
Ibu berbicara kepada anaknya dengan penuh lemah-lembut. Berbicara kepada menantu penuh kearifan. Seorang ibu benar-benar berpikir tentang cara berbicaranya, karena ada kekhawatiran kalau sang menantu akan tersinggung. Mamak berbicara kepada kemenakannya dengan penuh kearifan pula. Biasanya pembicaraan mamak adalah pembicaraan yang penuh makna, penuh pengertian dan mengandung nasehat.
Di rumah gadang berlaku “kato nan ampek”. “kato mandaki” dari yang kecil kepada yang lebih besar, “kato manurun” dari yang besar kepada yang kecil. “kato mandata” untuk yang sama besar, “kato malereang” adalah sumando kepada mamak rumah, dari mertua kepada menantu, dan begitu pula sebaliknya. Jadi berbicara di rumah gadang adalah berbicara dengan penuh makna dan di iringi dengan tenggang rasa yang tinggi.
Seseorang yang bertamu ke rumah gadang, dari halaman telah memberi aba-aba. Perempuan yang datang bertamu akan berseru dari halaman, apakah ada orang di rumah. Ia tidak langsung saja menaiki tangga dan membuka pintu. Jika laki-laki yang bertamu, biasanya aba-aba yang diberikan adalah mendehem atau batuk-batuk kecil. Aba-aba yang diberikan itu merupakan kearifan tersendiri bagi masyarakat Minangkabau yang sekaligus menunjukkan kehalusan rasa yang dimilikinya.
Pemilik rumah, jika mendengar seruan atau deheman tamu akan bersiap-siap menerima tamu. Rumah yang mungkin kurang rapi, segera dirapikan. Rumah disapu dan tikar di bentangkan. Jadi, pada hakikatnya aba-aba dari tamu merupakan bentuk komunikasi konversional antara tuan rumah dengan tamunya. Hal itu merupakan kesepakatan yang telah dipahami oleh tamu dan penghuni rumah gadang.
Berbicara di rumah gadang memerlukan tenggang rasa yang tinggi. Artinya, “raso dan pereso” menjadi patokan. Hal itu mengingat rumah gadang adalah tempat tinggal bersama bagi warga saparuik. Pembicaraan diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu penghuni yang lain. selain itu, berbicara diiringi dengan sopan santun yang telah di atur sedemikian rupa.
Ibu berbicara kepada anaknya dengan penuh lemah-lembut. Berbicara kepada menantu penuh kearifan. Seorang ibu benar-benar berpikir tentang cara berbicaranya, karena ada kekhawatiran kalau sang menantu akan tersinggung. Mamak berbicara kepada kemenakannya dengan penuh kearifan pula. Biasanya pembicaraan mamak adalah pembicaraan yang penuh makna, penuh pengertian dan mengandung nasehat.
Di rumah gadang berlaku “kato nan ampek”. “kato mandaki” dari yang kecil kepada yang lebih besar, “kato manurun” dari yang besar kepada yang kecil. “kato mandata” untuk yang sama besar, “kato malereang” adalah sumando kepada mamak rumah, dari mertua kepada menantu, dan begitu pula sebaliknya. Jadi berbicara di rumah gadang adalah berbicara dengan penuh makna dan di iringi dengan tenggang rasa yang tinggi.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.