Di Minangkabau ada tiga jenis pemimpin yaitu Niniak Mamak (penghulu), Alim Ulama, dan Cadiak Pandai. Ketiga pemimpin itu selalu bekerja sama dalam melaksanakan tugasnya. Ketiga pemimpin tersebut dikenal dengan “tungku tigo sajarangan” (tungku tiga sejerangan).
Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, kira-kira berbunyi seperti berikut:
Seorang penghulu akan dihormati oleh anak kemenakannya, jika melaksanakan tugas dan kewajiban dengan benar. Ia akan dijadikan sebagai raja oleh kemenakannya, seperti yang diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) berikut ini:
Jika di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira akan berbunyi seperti berikut:
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira akan menjadi seperti berikut:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
image: www.allaboutminangkabau.com
1. Penghulu (Niniak Mamak Pemangku Adat)
Masyarakat Minangkabau memiliki organisasi matrilineal yang disebut suku. Setiap suku dimpimpin oleh seorang penghulu. Penghulu disebut juga “Niniak Mamak pemangku adat”. Setiap penghulu memiliki pangkat atau gelar yang disebut “sako” yang dipanggil “datuak”.
Penghulu atau Niniak Mamak pemangku adat tersebut bertugas memimpin kaumnya. Kaum yang dimaksud terdiri dari orang-orang yang sesuku dengannya. Di dalam kaum tersebut terdapat beberapa organisasi yang lebih kecil lagi, yaitu rumah. Rumah dimpimpin oleh seorang “Mamak” yang disebut dengan “Tungganai”. Jadi penghulu pada hakikatnya memimpin beberapa “tungganai”.
Di dalam suatu nagari terdapat beberapa orang penghulu. Jumlahnya, tergantung kepada jumlah suku dan pemerakan suku di nagari tempat ia tinggal. Jumlah penghulu di dalam suku pada setiap “nagari” akan berbeda masing-masingnya.
Kepemimpinan penghulu pemangku adat sangat dihormati. Tugas yang harus ia jalankan cukup berat dan mulia. Kewajiban untuk memimpin anak kemenakannya dan masyarakat di nagari tempat ia tinggal. Ia berkewajiban memelihara harta pusaka dan adatnya. Dalam melaksanakan tugas ia juga harus berpedoman kepada kebenaran.
Semua itu diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) adat Minangkabau yang berbunyi:
Panghulu di Minangkabau,
Manuruik alua nan luruih,
Manampuah jalan nan pasa,
Mamaliharo harato pusako,
Sarato mamaliharo adatnyo.
Jika diartikan kedalam bahasa Indonesia, kira-kira berbunyi seperti berikut:
Pangulu di Minangkabau,
Penghulu di Minangkabau,
Manuruik alua nan luruih,
Menurut alur yang lurus
Manampuah jalan nan pasa,
Menempuh jalan yang pasal
Mamaliharo harato pusako,
Memelihara harta pusaka
Sarato mamaliharo adatnyo.
Serta memelihara adatnya
Seorang penghulu akan dihormati oleh anak kemenakannya, jika melaksanakan tugas dan kewajiban dengan benar. Ia akan dijadikan sebagai raja oleh kemenakannya, seperti yang diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) berikut ini:
Kamanakan barajo ka mamak,
Mamak barajo ka pangulu,
Pangulu barajo ka mufakat,
Mufakat barajo ka nan bana,
Bana badiri sandirinyo,
Bana manuruik alua jo patuik.
Jika di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira akan berbunyi seperti berikut:
Kamanakan barajo ka mamak,
Kemenakan beraja kepada mamak
Mamak barajo ka pangulu,
Mamak beraja kepada penghulu
Pangulu barajo ka mufakat,
Penghulu beraja kepada mufakat
Mufakat barajo ka nan bana,
Mufakat beraja kepada yang benar
Bana badiri sandirinyo,
Benar berdiri sendirinya
Bana manuruik alua jo patuik.
Benar menurut alur dan patut.
2. Alim Ulama
Penghulu dalam memimpin kaum, dibantu oleh pemimpin yang lain yaitu Alim Ulama dan Cadiak Pandai. Alim Ulama di Minangkabau disebut dengan “suluah bendang dalam nagari” (suluh terang dalam negeri). Dia barasal dari anggota masyarakat yang menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Alim ulama bertugas untuk membimbing masyarakat, mendidik anak-anak, dan mengarahkan kaumnya ke jalan yang benar. Sebutan lain untuk Alim Ulama adalah orang malin, tuangku atau orang syiak.
3. Cadiak Pandai
Selain Niniak Mamak dan Alim Ulama masih ada pemimpin yang lain yaitu ”Cadiak Pandai” (cerdik pandai). Cadiak pandai adalah kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu-ilmu yang bersifat umum, seperti pemerintahan, kemasyarakatan, dan sebagainya. Mereka menggunakan semua pengetahuan yang dimiliki untuk kepentingan orang banyak. Golongan ini mendapat banyak tempat yang terhormat di dalam masyarakat. Oleh karena itu Cadiak Pandai juga dianggap sebagai pemimpin.
Dalam sebuah kato pusako (kata pusaka) Minangkabau, kepemimpinan Cadiak Pandai tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Urang nan cadiak candokio
Tau jo ereng dengan gendeng
Tau jo latiang kamanganai,
Tau jo runciang kamancucuak,
Alun bakilah lah bakalam,
Takilek ikan dalam aia,
Lah tantu jantan batinonyo.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kira-kira akan menjadi seperti berikut:
Urang nan cadiak candokio,
Orang yang cerdik cendekia
Tau jo ereng dengan gendeng,
Tahu diereng dengan gendeng
Tau jo latiang kamanganai,
Tahu dengan leting akan mengena
Tau jo runciang kamancucuak,
Tahu dengan runcing akan menusuk
Alun bakilah lah bakalam,
Belum berkilat sudah berkelam
Takilek ikan dalam aia,
Berkilat ikan dalam air
Lah tantu jantan batinonyo.
Sudah tahu jantan bertinanya.
Ungkapan diatas menjelaskan tentang Cadiak Pandai yang tidak hanya berpengetahuan luas, tetapi juga arif dan bijaksana dalam kepemimpinannya.
Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
image: www.allaboutminangkabau.com