Ragam-Ragam Ukiran Rumah Gadang yang Ada di Minangkabau Sumatera Barat

Dinding rumah gadang terbuat dari kayu, kecuali bagian belakang yang dari bambu. Papan yang digunakan merupakan papan pilihan. Papan dari kayu dapat bertahan lama. Dinding bambu juga demikian. Biasanya diambil dari bambu (betung) yang telah tua. Untuk mengawetkannya sebelum digunakan, terlebih dahulu direndam di dalam lumpur atau air beberapa lama. Pemilihan dinding yang kuat tersebut ada kaitannya dengan daya tahannya dan berhubungan dengan kondisi cuaca di daerah Bukit Barisan.

Ragam Ukiran Rumah Gadang Minangkabau

Dinding papan di pasang vertikal. Pada setiap sambungan papan diberi bingkai. Begitu pula halnya pada setiap jendela dan pintu, terdapat bingkai juga dari papan. Bingkai yang terdapat sambungan dinding, pada pintu dan jendela itu dipasang lurus. Setiap babak dinding dipasang berbingkai. Daun pintu dan jendela juga dikelilingi oleh bingkai.

Semua papan yang menjadi dinding dan bingkai dipenuhi dengan ukiran. Kadang-kadang, tiap yang berada di bagian dalam rumah juga di ukir. Sehingga ukiran merupakan hiasan yang dominan dalam bangunan rumah gadang Minangkabau.

Ukiran merupakan ragam hiasan bidang. Tiap bidang yang diukir merupakan karya seni. Ukiran itu bersumber dari motif alam. Hal ini berkaitan dengan falsafah alam yang dianut oleh orang Minangkabau. Ukiran tidak dikaitkan dengan kepercayaaan atau dengan hal-hal yang sakral, ukiran tidak ada hubungannya dengan hal-hal yang bersifat pemujaan. Ukiran semata-mata ditampilkan sebagai karya seni hiasan yang memiliki nilai keindahan dan mengandung makna.

Falsafah “alam takambang jadi guru” mempengaruhi tampilan ukiran rumah gadang. Motif ukiran bersumber dair akar tumbuhan merambat. Akar tumbuhan merambat itu disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Variasi susunan akar merupakan pola intin ukiran tersebut. ada pola akar berlingkaran, berjajaran, berhimpitan, berjalin, dan bersambungan atau sambung-menyambung.

Penamaan ukiran disesuaikan dengan bentuk polanya. Nama-nama itu antara lain kaluak paku, pucuak rabuang, saluak laka, jalo, jarek, itiak pulang patang, dan saik galamai. Pemberian nama terhadap ukiran itu ada kaitannya dengan makna ajaran Minangkabau, ada hubungannya dengan hukum dan falsafah yang dianut. Oleh karena itu diberi nama, pemasangannya pada dinding disesuaikan dengan makna itu.

Penamaan dan pemakaian ukiran tersebut diungkapkan sebagai berikut:

1. Kaluak Paku (keluk paku)
Ditafsirkan sebagai ajaran anak dipangku kemenakan dibimbing.

2. Pucuak Rabuang (pucuk rebung)
Ditafsirkan sebagai ajaran yang praktis yaitu “ketek baguno, gadang tapakai”.

3. Saluak Laka (seluk laka)
Melambangkan kekerabatan di Minangkabau yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain.

4. Jalo (jala)
Melambangkan sistem pemerintahan yang dituangkan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dari Kelarasan Bodi Caniago.

5. Jarek (jerat)
Melambangkan sistem pemerintahan yang dituangkan Datuak Katumanggungan dari kelarasan Koto Piliang.

6. Itiak Pulang Patang (bebek pulang petang)
Melambangkan ketertiban anak kemenakan.

7. Saik Galamai (sayat gelamai)
Melambangkan ketelitian.

Ukiran pada dinding disesuaikan dengan makna yang terdapat di dalam lukisan itu. Ukiran dinding yang menggambarkan keramah-tamahan disebut ukiran “si kambang manih”. Ada juga yang menggunakan ukiran “jalo dan jarek” yang melambangkan sistem pemerintahan dan hukum Bodi Caniago dan Koto Piliang. Ukiran yang melambangkan kekerabatan juga dipasang pada dinding yaitu saluak laka.

Nama-nama ukiran diatas adalah yang paling umum digunakan. Selain ke tujuh ukiran tersebut masih banyak lagi jenis ukiran rumah gadang yang lainnya.


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال