Persamaan dan Perbedaan Kelarasan Bodi Caniago vs Koto Piliang

Kelarasan Koto Piliang dan Kelarasan Bodi Caniago memiliki persamaan dan perbedaan. kedua kelarasan ini bisa digabungkan karena adanya persamaan, dan perbedaan bukan menjadikan kedua terpisah tetapi justru saling menguatkan, melengkapi, dan saling mengisi. Gabungan keduanya melahirkan demokrasi yang khas di Minangkabau.

Persamaan dan Perbedaan Kelarasan Bodi Caniago Dengan Koto Piliang

Persamaan Kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang

Persamaan tersebut terlihat pada kearifan dalam menerapkan sistem. Koto piliang arif dalam melaksanakan aturan yang telah dibuat. Tegas dalam menerapkan ketentuan yang telah disepakati dan taat pada setiap ketentuan yang digariskan. Semua ketentuan itu harus terlaksana, meskipun memiliki risiko yang berat. Bodi Caniago arif dalam menyusun ketentuan. Ketentuan dibuat untuk keperluan bersama, untuk kepentingan orang banya, karena itu untuk membuatnya harus disepakati. Sehingga dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan lancar.

Gabungan kedua sistem ini disegi persamaannya diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) Minangkabau berikut:

Bajanjang naik, batanggo turun,
Naiak dari janjang nan di bawah,
Turun dari tanggo nan di ateh,
Titiak dari langik,
Tabasuik dari bumi,

Jika diartikan dalam bahasa indonesia, kira-kira berbunyi seperti berikut: 

Bajanjang naik, batanggo turun,
Berjenjang naik, bertangga turun,
Naiak dari janjang nan di bawah,
Naik dari jenjang yang di bawah,
Turun dari tanggo nan di ateh,
Turun dari tangga yang di bawah,
Titiak dari langik,
Titik dari langit
Tabasuik dari bumi,
Terbit dari bumi 

Perbedaan Kelarasan Bodi Caniago dan Koto Piliang

Selain adanya persamaan, antara kedua kelarasan tersebut juga terdapat beberapa perbedaan mendasar. Perbedaan itu antara lain dalam pengambilan keputusan, dalam pergantian gelar pusaka dan di bentuk rumah gadang.

Pengambilan Keputusan

Dalam pengambilan keputusan kelarasan Koto Piliang berpedoman kepada kebijaksanaan dari atas (pimpinan). Segala bentuk keputusan datang dari atas (pimpinan). Masyarakat Minangkabau mengatakan dalam bahasa Minangkabau “nan titiak dari langik” (yang titik dari langit). Masyarakat hanya perlu menerima apa yang telah ditetapkan.

Kelarasan Bodi Caniago lebih mengutamakan kata mufakat, masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan “kato basamo kato mufakat, sasuai mako takanak” (kata bersama kata mufakat, sesuai maka terkenak). Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, bukan hanya berasal dari pimpinan saja. Akan tetapi masyarakat juga ikut serta dilibatkan dalam pengambilan keputusan tersebut.

Pergantian Gelar Pusako (Pusaka)

Dalam pergantian gelar pusako (pusaka), Koto piliang menerapkan “mati batungkek budi” (mati bertongkat budi). Penghulu, pemimpin kaum, baru bisa diganti ketika ia telah meninggal. Jika masih hidup, maka belum ada pergantian, meskipun ia sudah tua. Bodi Caniago menerapak sistem dimana bisa terjadi pergantian gelar pusako (pusaka) ketika penghulu yang lama masih hidup. Namun penghulu tersebut tidak lagi bisa menjalankan tugasnya dengan baik, karena sudah terlalu tua. Masyarakat Minangkabau menyebut yang demikian dengan “Iduik bakarelaan” (hidup berkerelaan). Namun masyarakat sering menggabungkan kedua bentuk pergantian gelar pusaka tersebut, sehingga menjadi “mati batungkek budi, iduik bakarelaan”.

Bentuk Rumah Gadang

Rumah gadang atau rumah adat Koto Piliang dengan Bodi Caniago juga memiliki perbedaan. Meski tidak seluruh bentuknya berbeda, namu ada perbedaan. Perbedaan itu yang paling menonjol ialah pada bagian lantai. Rumah gadang Koto Piliang mempunyai yang disebut dengan “anjuang” (anjungan) pada lantai kiri dan kanan. Sedangkan lantai rumah gadang Bodi Caniago merata dari ujung sampai pangkal.

Demikian sedikit persamaan dan perbedaan antara kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago tersebut. Namun penjelasan diatas hanya sebagian kecilnya saja, sebab masih banyak lagi persamaan dan perbedaan antara kedua kelarasan tersebut.


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال