Tatacara Pengambilan Keputusan Kelarasan Bodi Caniago

Cara mengambil keputusan dalam Bodi Caniago adalah melalui musyawarah dan mufakat. “putuih rundiangan dek sakato, rancak rundiang disapakati”. Timbul suatu masalah baik di dalam kaum maupun di dalam nagari. Mereka melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan. Ketika bermusyawarah, mereka dibenarkan berbeda pendapat, berlain ide, dan bertukar kata. Hal itu dibenarkan menurut adat yang berlaku. Seperti diungkapkan, “basilang kayu dalam tungku, disinan api mako iduik, disitu nasi mako masak” (bersilang kayu dalam tungku, disana api maka hidup, disitu nasi maka masak).

Cara Mengambil Keputusan Kelarasan Bodi Caniago

Keputusan yang diambil bukan menurut selera sendiri, tidak pula memaksakan kehendak sendiri kepada orang lain. akan tetapi, keputusan diambil berdasarkan kadar atau ukuran tertentu, menurut “cukap jo gantang, barih jo balabeh”. Cupa dan gantang adalah alat untuk menentukan, mengukur sesuatu. Ukuran itu telah disepakati oleh masyarakat sebelumnya. Ukuran itu pula yang dipakai dalam mengambil keputusan. Barih jo balabeh adalah rambu-rambu atau batasan-batasan yang telah disepakati semula. Berdasarkan itu pula keputusan diambil.

Setiap orang di dalam mengambil keputusan dapat dan berhak memberikan pendapat. Pendapat itu tidak harus sama dengan yang lain. akan tetapi, pendapat yang dikemukakan harus bermuara kepada satu titik. Titik itu adalah “talatak sasuatu di tampeknyo” yaitu kesesuaian dengan masalah yang dibicarakan. Sesuatu dikatakan masalah jika sesuatu belum terletak pada tempatnya, terjadi ketimpangan antara yang seharusnya dengan kenyataan yang dihadapi. Oleh karena itu, titik dalam pengambilan keputusan adalah terletak sesuatu pada tempatnya.

Jika keputusan telah diambil, sesuatu sudah terletak pada tempatnya. Musyawarahnya belum selesai. Keputusan itu belum keputusan akhir. Masih ada ukuran lain yang harus digunakan. Ukuran itu adalah “alua. Patuik, jo mungkin”. Alur yaitu hukum atau ketentuan. Patut adalah kepantasan atau kewajaran, dan mungkin adalah dapat dilaksanakan. Jadi keputusan yang diambil harus menurut ukuran tersebut. jika sudah memenuhi ukuran itu, masih ada ukuran akhir yaitu “adat jo pusako”.

Jadi pengambilan keputusan menurut musyawarah Bodi Caniago mengikuti tingkat-tingkatannya. Jika keputusan telah mengikuti tingkat ukuran itu dinamakan dengan “mangaruak saabih gauang, maawai sahabih raso” (mengeruk sebatas lobang, menjangkau sebatas rasa). Artinya, kepuasan yang diambil telah dikaji dari berbagai sudut. Tidak ada perasaaan tiak puas dan perasaan tidak setuju di belakangnya. Semua aspirasi telah tertampung di dalamnya.

Akhirnya keputusan itu dikatakan, “buleklah buliah digolekkan, pipihlah buliah dilayangkan, buleknyo indak basandiang, pipihnyo indak basagi” (bulat dapat digelindingkan, tipis dapat dilayangkan, bulatnya tidak bersudut, tipisnya tidak bersegi). Artinya, keputusan tersebut benar-benar diambil dengan suara bulat. Tidak akan ada lagi pendapat yang berbeda sesudah itu. Dengan demikian barulah keputusan dapat dilaksanakan.



Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال