Tatakrama Duduk yang Dianjurkan Saat Berada Dalam Rumah Gadang Minangkabau Sumatera Barat

Jika hendak berkunjung ke Rumah Gadang, Berarti Kamu telah siap mengikuti semua ketentuan adat saat berada di dalam rumah gadang, Termasuk cara duduk di dalam rumah gadang.

Sekiranya kita sudah tahu bahwasanya di rumah gadang tidak terdapat kursi dan meja seperti rumah biasanya. Orang duduk di atas lantai beralas tikar. Cara duduknya adalah bersela bagi laki-laki dan bersimpuh bagi perempuan, bukan berjuntai. Duduk bersela dan bersimpuh itu menjadi mutlak dan salah satu tatakrama yang sangat penting. Duduk bersela tersebut dianggap cara duduk yang beradat. Akan menjadi lebih penting dan mendapat perhatian, kalau pertemuan di rumah gadang itu pertemuan resmi adat.

Tatakrama Duduk di Rumah Gadang Minangkabau

Anak-anak sejak kecil telah diajar duduk bersela oleh orangtuanya. Ajaran sikap duduk itu dilakukan secara terus menerus. Jika pada saat tertentu seorang anak duduk tidak bersela, orangtuga akan mengingatkannya. Anak itu ditegur pada saat itu atau sesudah itu. Hal itu dilakukan sesuai dengan ungkapan “ketek taraja-raja, lah gadang tarubah tido, lah tuo jadi parangai”. Jadi kalau ditanamkan sejak dini, diharapkan setelah dewasa akan menjadi sikapnya yang permanen. Kalau sudah tua akan menjadi perangainya.

Duduk bersela dan bersimpuh disebut juga dengan duduk yang beradat. Seseorang yang duduk di rumah gadang, tidak boleh menegakkan lututnya. Ia tetap bersela selama duduk. Bersela itu pun ada ketentuannya. Tidak boleh gelisah, tidak boleh berputar ke sana ke mari. Jika terjadi yang demikian, seseorang itu dianggap tidak beradat, tidak memenuhi tatakrama duduk di rumah gadang yang dimuliakan itu.

Dimana seseorang harus duduk juga ada aturannya. Tempat duduk seseorang di rumah gadang ditentukan oleh fungsinya di dalam kekerabatan matrilineal. mamak rumah atau laki-laki dewasa yang berasal dari keturunan saparuik di rumah gadang, duduk di tepi. Ia duduk membelakangi dinding depan dan menghadap ke ruang tengah. Mamak rumah duduk menghadap ke pintu bilik atau ke kamar-kamar penghuni rumah. Ia duduk membelakangi halaman. Mamak rumah akan dianggap tidak beradat dan sangat memalkukan kalau duduk di dekat bilik. Kalau hal itu dilihat masyarakat, tingkahnya itu akan menjadi bahan gunjingan.

Sumando, duduk di ruang tengah. Ia duduk membelakangi bilik dan menghadap ke pintu luar atau menghadap ke halaman. Sumando tidak berhak duduk di tepi atau di depan. Kalau ada sumando yang duduk seperti itu, dianggap tidak beradat kalau tidak mengerti tatakrama duduk di rumah gadang.

Mamak rumah duduk menghadap ke bilik ada hikmahnya. Hal itu melambangkan, bahwa seorang mamak harus senantiasa mengawasi kemenakannya. Selalu memperhatikan dan menyimak kehidupan kemenakannya di rumah gadang. Berhubungan dengan ungkapan, “kok siang dicaliak-caliak, kok malam di danga-danga”. Fungsi pengawasan merupakan hikmah yang terkandung di dalam cara duduk mamak di rumah itu.

Sumando duduk membelakangi bilik atau kamar. Ia menghadap ke pintu keluar. Hal ini mengandung hikmah, bahwa sumando bukanlah orang pemilik rumah. Akan tetapi ia menjadi tamu terhormat di rumah gadang. Selain itu, ia juga merupakan “abu di ateh tunggua” di atas rumah gadang. Ia bisa bertahan apabila angin tidak kencang. Itulah sebabnya ia menghadap ke pintu keluar. Akan tetapi, tidak mudah untuk meninggalkan rumah karena mamak rumah duduk di depan pintu itu.

Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Image: suraulakuak.blogspot.com

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال