Gerakan Dasar Silat Tradisional Minangkabau Sumatera Barat

Silat berguna untuk bela diri. Sebagai pembelaan diri, keutamaannya adalah pertahanan. Pesilat akan mempertahankan diri jika diserang. Jika tidak sangat terpaksa, ia tidak akan membalas serangan lawannya. Jika masih dapat menghindar, ia tetap akan menghindar. Ia akan mengelak dari serangan dengan berbagai cara. Hal itu sesuai dengan kode etiknya “musuh pantang dicari, basuo pantang dielakkan” (musuh pantang dicari, bertemu pantang dielakkan). Kode etik itu sangat diperhatikan oleh pesilat karena ditanamkan oleh gurunya sejak pertama belajar silat.

Gerak Dasar Silat Tradisional Minangkabau

Sebagai seni bela diri yang mengutamakan pertahanan, silat memiliki empat gerak dasar. Keempat gerak dasar itu adalah langkah, elak, tangkap, dan serang. Langkah, elak, dan tangkap merupakan gerak dasar pertahanan, sedangkan serang adalah gerak dasar untuk pembalasan.

Langkah

Langkah di dalam silat sangat tergantung kepada jenis atau aliran silatnya. Ada aliran yang menggunakan langkah tiga dan ada yang menggunakan langkah itu meliputi langkah maju ke depan (maju), ke belakang (mundur), ke kiri dan ke kanan. Setiap langkah diiringi oleh gerak tangan, sebagai usaha untuk mengimbanginya. Dengan gerak langkah yang diiringi gerak tangan, menampilkan keindahan gerak. Oleh karena itu, di dalam silat terlihat keindahan yang kemudian disebut seni bela diri.

Elak: gerakan menghindar

Seorang pesilat berusaha menghindari serangan lawannya. Untuk menghindari serangan, selain menggunakan langkah, juga menggunakan gerak “gelek”, yaitu memiringkan tubuh ke kiri atau ke kanan tanpa menggeser langkah. Adakalanya, ketika gerakan mengelak dengan menggunakan gelek, tangan diangkat hingga mencapai kepala, sehingga tangan seolah-olah berfungsi melindungi bagian pinggang ke atas.

Selain menggunakan gelek, gerak dasar elak juga menggunakan “kepoh”. Jika elak dengan menggunakan gelek tidak bersentuhan dengan lawan, maka kepoh menyentuh lawan. Kepoh adalah menepis serangan dengan menggunakan tangan atau kaki. Serangan dikepohkan sesuai dengan arahnya, sehingga tidak mengenai sasaran. Dengan demikian, pesilat menggunakan kekuatan lawan untuk menghindari serangan itu.

Tangkap: menggunakan dua tangan

Jika pesilat diserang, ia melakukan gerakan ini. Serangan itu ditangkap dengan tangan, sebagai kelanjutan gerakan ini adalah “kabek”. Kabek menggunakan dua lengan dan mengetukan siku. Kelanjutan dari kabek adalah kunci dengan menggunakan seluruh anggota tangan. Jika pesilat mau atau ingin mencederai lawan, kelanjutannya adalah memilin, mematahkan, dan membanting lawannya.

Serangan: Pembalasan

Pembalasan baru dilakukan apabila sudah mengelak dan menangkap sebanyak tiga kali paling kurang. Setelah tiga kali, lawan masih menyerang, pesilat sudah dibenarkan untuk membalas. Hal itu diungkapkan dalam fatwahnya “lah paneh badang dek baralah, kini mambaleh hanyo lai” (sudah letih badang mengalah, kini membalas lagi).

Senjata: Tinju, Telapak Tangan, Siku, Bahu, Lutut, dan Kaki

Senjata yang digunakan untuk menyerang adalah tinju, telapak tangan, siku, bahu, lutut dan kaki. Tinju dapat digunakan untuk serangan berupa pukuan, sodokan, dan sebagainya. Sedangkan telapak tangan dapat digunakan untuk sabetan dan dorongan. Siku digunakan untuk hentakan pada bagian tertentu dan lutut untuk sodokan dari bawah yang menuju sasaran vital tertentu.

Kaki: Sepakan, Terjangan, dan Hantaman

Kaki digunakan untuk melakukan serangan dalam bentuk sepakan, terjangan dan hantaman. Selain itu, kaki juga melakukan “sepai”, yaitu mengait kaki lawan hingga ia terjatuh. Sepai dilakukan pada saat kaki lawan akan menyentuh tanah, hingga kekuatan dan keseimbangannya tidak terpelihara. Akibatnya lawan terhuyung dan jatuh.


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال