Hubungan Kekerabatan Induak Bako, Anak Pisang, Mintuo dan Minantu Menurut Adat Minang

Induak bako, anak pisang, mintuo dan minantu juga timbul karena adanya pernikahan. Hubungan kekerabatan induak bako dan anak pisang adalah hubungan antara seorang perempuan dengan saudara laki-lakinya. Saudara perempuan dari bapak disebut induak bako, sedangkan anak-anak dari saudara laki-laki disebut anak pisang. Istri atau suami dari anak-anak disebut minantu dan anak-anak menyebut kedua orangtua istri atau orangtua suaminya mintuo. Jadi, kekerabatan ini timbul karena adanya pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang berbeda suku.

Hubungan Kekerabatan Induak Bako, Anak Pisang, Mintuo dan Minantu

Seorang perempuan, memiliki dua kedudukan. Ke atas, ia merupakan anak pisang dari saudara perempuan bapaknya, ke bawah ia menjadi induak bako dari saudara laki-lakinya. Jika perempuan mempunyai dua arus hubungan, seorang laki-laki tidak demikian, ia hanya sebagai anak pisang dari saudara perempuan bapaknya, tetapi tidak menjadi induak bako bagi anak saudara-saudara laki-lakinya.

Menurut adat Minangkabau, hubungan bapak dengan anak-anaknya tidaklah begitu dekat. Oleh karena bapak selain harus tinggal di rumah istri, ia juga mengurus kemenakannya. Hubungan anak pisang dengan bako merupakan kesempatan bagi seorang anak untuk lebih dekat dengan bapaknya. Anak pisang dapat tinggal di rumah bakonya dan bersama-sama bapaknya.

Seorang bapak di Minangkabau tidak dapat memberikan harta kaumnya kepada anak-anaknya. Akan tetapi melalui bako anak dapat memperoleh harta. Jalan ini dibenarkan oleh adat. Bako dapat memberikan sesuatu berupa hasil harta pusaka atau menghibahkan harta, tetapi bapak tidak. Oleh karena itu, hubungan bako dengan anak pisang selalu dipelihara oleh orang Minangkabau sampai sekarang.

Anak pisang lazim pula disebut dengan nama lain yaitu “anak pusako” (anak pusaka). Seorang anak perempuan di dalam fungsinya sebagai anak pusako, juga mendapat pendidikan dari bako. Jadi dua pendidikan yang diterimanya, yaitu dari bako dan dari ibu serta mamak. Anak laki-laki, hanya mendapat pendidikan dari mamaknya saja, tidak dari bako.

Untuk lebih merapatkan hubungan antara induak bako dengan anak pisang, seorang laki-laki di anjurkan menikah dengan kemenakan bapaknya atau anak mamak. Pernikahan ini dikenal dengan pernikahan “awak samo awak”. Di dalam ungkapan Minangkabau disebut dengan “kuah talenggang ka nasi, nasi kadimakan juo” (kuah tertumpah ke nasi, nasi akan dimakan juga). Jika pernikahan tersebut berjalan baik, akan menambah kedekatan hubungan induak bako dengan anak pisang. Seperti ungkapan, “basi baiak di ringgiti”.

Minantu laki-laki sangat rapat hubungannya dengan mintuo, karena ia tinggal serumah dengannya. Ia selalu dimanjakan oleh mintuo. Jika terjadi pertengkaran dalam rumah tangga dengan istri, mintuo menyalahkan anaknya dan membela minantunya. Minantu perempuan tidak serumah dengan mintuo. Oleh karena itu hubungannya tidak begitu erat. Perlakukan mintuo terhadap minantu perempuan jauh berbeda dengan perlakuan terhadap minantu laki-laki.

Minantu perempuan wajib berkunjung ke rumah mintuo, terutama pada hari baik dan bulan baik. Kalau terjadi perhelatan, kenduri dan acara-acara lain di rumah mintuo, minantu perempuan wajib hadir. Ia ke sana diharuskan membawa “buah tangan”. Selain itu, sesampai di rumah mintuo, ia harus bekerja, membantu mintuo di dapur. Hal itu ia lakukan untuk menunjukkan “baso jo basi”, dan rasa hormat kepada suami dan kepada keluarganya.

Akan dianggap sangat cacat dan tercela, jika pada hari-hari tertentu minantu perempuan tidak hadir di rumah mintuo. Akan menjadi buah mulut dan gunjingan di dalam kampung kalau minantu perempuan tidak terlihat di dalam perhelatan, kenduri atau kematian. Jadi kewajiban minantu perempuan jauh lebih berat dibandingkan dengan kewajiban minantu laki-laki. Hal itu telah menjadi adat yang lazim di Minangkabau pada masa dahulunya.


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.

Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.

Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.

Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.

Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.

Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.

Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.

Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.

Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.

Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

image: www.goodreads.com

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال