Hubungan Kekerabatan Sumando, Pasumandan, Ipa dan Bisan menurut Adat Minang

Kerabat sumando dan sumandan, ipa dan bisan timbul karena adanya pernikahan. Seorang suami dipanggil sumando di dalam keluarga istrinya, dipanggil sumando oleh saudara istrinya. seorang istri dipanggil pasumandan oleh pihak keluarga suami, dipanggil pasumandan oleh saudara-saudara suami. Saudara perempuan dan saudara laki-laki dari suami dipangil disebut ipa (ipar) ole istri. Saudara laki-laki dari istri, oleh suami dipanggil bisan dan saudara perempuan disebut ipa (ipar). Hubungan timbal balik antara keluarga suami dengan keluarga istri, juga disebut bisan.

Hubungan Kekerabatan Sumando, Pasumandan, Ipa dan Bisan

Sumando di rumah istri merupakan tamu terhormat. Ia diperlakukan amat hati-hati seperti “menenteng minyak penuh”. Hubungannya dengan saudara-saudara laki-laki istrinya segan-menyegani. Mereka saling menghormati keberadaannya masing-masing. Saling menghormati dan segan menyegani itu terlihat dalam pergaulan sehari-hari. Misalnya, jika saudara laki-laki istri datang ke rumah, dari jauh ia telah memberi aba-aba atau tanda. Oleh karena itu, segala yang kurang pantas dan kurang beres di atas rumah dibereskan untuk menyambut kedatangan bisan.

Oleh saudara perempuan istri, sumando juga dihormati. Perlakuannya juga sangat hati-hati. Sumando mereka segani dengan sungguh-sungguh. Hal itu terlihat di dalam pergaulan sehari-hari. Di atas rumah, jika masih di dalam rumah gadang yang sama, saudara perempuan istri berbicara dan bertindak sangat hati-hati supaya sumando tidak tersinggung. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh mertua dan seisi rumah. Jadi keberadaan seorang sumando di Minangkabau benar-benar sangat dihormati.

Seorang istri di rumah keluarga suaminya disebut pasumandan. Hubungannya dengan keluarga suami lain dengan hubungan suami dengan keluarganya. Ia harus pandai-pandai terhadap keluarga suaminya. Pandai menjaga hati mertua, memelihara perasaan saudara-saudara suami. Oleh karena adat, ia mewakili keluarganya di hadapan keluarga suaminya.

Di rumah keluarga suami ia menunjukkan budi yang halus, kepribadian yang menarik, keterampilan yang handal untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Hal yang seperti itu hanya dapat dilakukan seorang istri apabila sebelum berumah tangga ia mempersiapkan dirinya. Itulah sebabnya, anak perempuan di dalam keluarga Minangkabau sejak dini mendapat pendidikan yang benar dari ibu dan mamak-mamaknya.

Hubungan kedua keluarga suami dengan keluarga istri disebut hubungan kekerabatan bisan. Hubungan itu ditandai dengan ikatan yang akrab, saling menyegani, saling menghormati, dan saling membina rasa kebersamaan.

Hal ini dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Jika terjadi peristiwa baik, bulan baik, mereka saling mengunjungi. Jika terjadi peristiwa buruk, seperti musibah, kemalangan, mereka juga saling mengunjungi. Mereka selalu berbagi rasa. Seperti diungkapkan dalam kato pusako (kata pusaka) “kaba baiak baimbauan, kaba buruak baambuan” (kabar baik dihimbaukan, kabar buruk berdatangan).

Jadi hubungan sumando dan pasumandan, ipa dan bisan, merupakan ikatan satu keluarga lain. hubungan itu berarti memperluas ikatan antara satu keluarga dengan keluarga lain. Dengan demikian, terciptalah masyarakat Minangkabau yang kolektif, masyarakat yang mempunyai ikatan antara yang satu dengan yang lain.



Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.

Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.

Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.

Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.

Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.

Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.

Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.

Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.

Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.

Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.

image: blogminangkabau.wordpress.com

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال