Randai adalah kesenian khas Minangkabau. Randai dilaksanakan dalam bentuk teater arena (pertunjukan arena). Unsur kesenian yang terdapat dalam randai meliputi seni drama, seni suara, seni tari, dan seni musik. Sumber ceritanya adalah kaba yang bertemakan budi, malu, susila, pendidikan dan menanamkan kesadaran berbangsa. Jadi, randai merupakan seni yang kompleks.
Randai disebut kesenian khas Minangkabau. Pernyataan itu memang tepat. Oleh karena, hanya Minangkabau saja yang memiliki kesenian ini. Di daerah lain tidak dikenal kesenian randai. Jika ada di daerah lain, tentu saja nama dan seni pertunjukkannya akan berbeda pula. Jadi, randai disebut kesenian khas Minangkabau karena hanya Minangkabau yang memilikinya.
Randai dilaksanakan dalam bentuk teater arena. Artinya, pertunjukan randai berlangsung di arena (lapangan terbuka). Pada zaman dahulu kala pertunjukan randai hanya dilakukan di lapangan. Adakalanya di lapangan khusus (medan) dan adakalanya di laksanakan di halaman rumah gadang. Lapangan atau halaman itu sekaligus tempat pertunjukan dan tempat penonton. Jadi pertunjukan randai bukan di ruangan, melainkan di lapangan. Namun seiring perkembangan zaman yang semakin maju, pertunjukan randai sudah ada yang dilakukan di ruangan tertutup yang luas.
Di dalam pertunjukan randai terdapat banyak unsur kesenian. Unsur seni drama terlihat karena adanya peran oleh para pelaku dengan melakukan dialog, gerak, dan mimik. Unsur seni suara terlihat dalam dendang antara adegan dengan adegan lain. sambil berdendang, pemain melingkar sambil melakukan gerak pencak. Gerakan pencak itu merupakan unsur seni tari. Musik pengiringnya adalah saluang, rabab dan talempong yang merupakan seni musik tradisional Minangkabau. Jadi, di dalam randai terdapat sejumlah unsur kesenian Minangkabau.
Cerita randai diangkat dari kaba. Cerita kaba digelar dalam bentuk dialog yang diseling-selingi dengan dendang. Pada dasarnya, jika dilihat dari segi pertunjukan teaternya, randai adalah pertunjukan kaba dan bentuk drama atau teater. Oleh karena kaba Minangkabau cukup banyak jumlahnya, temanya pun beraneka ragam. Tema-tema itulah yang diungkapkan melalui pertunjuk randai ini.
Tema kaba yang diangkat ke dalam randai bermacam-macam. Ada tema kesedihan (tragedi) dan ada tema kepahlawanan (heroik). Dengan tema-teman itu, setiap penonton ikut tergugah, terbuai di dalam cerita pertunjukan. Misalnya kaba “Sabai Nan Aluih” yang mengungkapkan kepahlawanan seorang wanita Minangkabau. Kaba “Cindua Mato” menayangkan kepahlawanan seorang pemuda Minangkabau. Dengan tergugahnya penonton oleh alur dan tema cerita, maka sampai kini randai masih menjadi tontonan menarik bagi masyarakat tidak hanya di Minangkabau tetapi juga masyarakat luar Minangkabau.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Randai disebut kesenian khas Minangkabau. Pernyataan itu memang tepat. Oleh karena, hanya Minangkabau saja yang memiliki kesenian ini. Di daerah lain tidak dikenal kesenian randai. Jika ada di daerah lain, tentu saja nama dan seni pertunjukkannya akan berbeda pula. Jadi, randai disebut kesenian khas Minangkabau karena hanya Minangkabau yang memilikinya.
Randai dilaksanakan dalam bentuk teater arena. Artinya, pertunjukan randai berlangsung di arena (lapangan terbuka). Pada zaman dahulu kala pertunjukan randai hanya dilakukan di lapangan. Adakalanya di lapangan khusus (medan) dan adakalanya di laksanakan di halaman rumah gadang. Lapangan atau halaman itu sekaligus tempat pertunjukan dan tempat penonton. Jadi pertunjukan randai bukan di ruangan, melainkan di lapangan. Namun seiring perkembangan zaman yang semakin maju, pertunjukan randai sudah ada yang dilakukan di ruangan tertutup yang luas.
Di dalam pertunjukan randai terdapat banyak unsur kesenian. Unsur seni drama terlihat karena adanya peran oleh para pelaku dengan melakukan dialog, gerak, dan mimik. Unsur seni suara terlihat dalam dendang antara adegan dengan adegan lain. sambil berdendang, pemain melingkar sambil melakukan gerak pencak. Gerakan pencak itu merupakan unsur seni tari. Musik pengiringnya adalah saluang, rabab dan talempong yang merupakan seni musik tradisional Minangkabau. Jadi, di dalam randai terdapat sejumlah unsur kesenian Minangkabau.
Cerita randai diangkat dari kaba. Cerita kaba digelar dalam bentuk dialog yang diseling-selingi dengan dendang. Pada dasarnya, jika dilihat dari segi pertunjukan teaternya, randai adalah pertunjukan kaba dan bentuk drama atau teater. Oleh karena kaba Minangkabau cukup banyak jumlahnya, temanya pun beraneka ragam. Tema-tema itulah yang diungkapkan melalui pertunjuk randai ini.
Tema kaba yang diangkat ke dalam randai bermacam-macam. Ada tema kesedihan (tragedi) dan ada tema kepahlawanan (heroik). Dengan tema-teman itu, setiap penonton ikut tergugah, terbuai di dalam cerita pertunjukan. Misalnya kaba “Sabai Nan Aluih” yang mengungkapkan kepahlawanan seorang wanita Minangkabau. Kaba “Cindua Mato” menayangkan kepahlawanan seorang pemuda Minangkabau. Dengan tergugahnya penonton oleh alur dan tema cerita, maka sampai kini randai masih menjadi tontonan menarik bagi masyarakat tidak hanya di Minangkabau tetapi juga masyarakat luar Minangkabau.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.