Tungku dalam arti sebenarnya adalah tempat menjerangkan wajan, periuk, dan kuali supaya menghasilkan masakan. Tungku selalu tiga, tidak ada tungku yang dua. Gunanya tungku itu tiga, agar yang dijerangkan di atasnya dapat terletak dengan baik. Yang diletakkan diatasnya tidak miring, tidak tertumpah. Jadi kepemimpinan tungku tigo sajarangan (tungku tiga sejerangan) itu merupakan simbol kukuhnya kepemimpinan masyarakat di Minangkabau.
Jadi diibaratkan masyarakat itu adalah bejana yang akan dijerangkan di atas tungku, ia akan merasa aman dan tentram. Tidak akan ada yang jatuh ke atas api, karena kekuatan tungku yang tiga itu. Maksudnya masyarakat tidak akan sesat, kacau dan rusak jika tungku yang tiga itu masih tetap bekerja sama, masih tetap menempatkan diri pada posisinya masing-masing.
Adat Minangkabau diungkapkan sebagai “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Antara adat dan agama (syarak) tidak ada pertentangan. Syarak memberikan hukum atau syariat, kemudian adat melaksanakannya. Seperti ungkapan “syarak mangato, adat mamakai” (syarat berkata, adat memakai). Dari dua konsep itu (adat dan syarak), dibutuhkan dua unsur pimpinan, yaitu penghulu (niniak mamak) dan alim ulama. Kemudian sebagai unsur ketiga dibutuhkan undang-undang. Undang-undang itu adalah cadiak pandai yang menguasainya. Dengan demikian ada adat, ada agama, dan ada undang-undang.
Adanya ketiga unsur pemimpin tersebut melahirkan “tali tigo sapilin” (tali tiga sepilin). Tali tigo sapilin adalah syarak, adat dan undang-undang. Ketiga unsur tersebut dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya. Agama dibutuhkan untuk mengatur hidup di dunia dan menuju jalan ke akhirat. Adat dibutuhkan untuk melaksanakan ajaran agama tersebut. sedangkan undang-undang diperlukan untuk menetapkan kebijaksanaan dalam menjalankan adat dan agama. Dengan demikian, masyarakat Minangkabau memiliki perangkat pimpinan yang lengkap serta perangkat aturan yang sempurna.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Jadi diibaratkan masyarakat itu adalah bejana yang akan dijerangkan di atas tungku, ia akan merasa aman dan tentram. Tidak akan ada yang jatuh ke atas api, karena kekuatan tungku yang tiga itu. Maksudnya masyarakat tidak akan sesat, kacau dan rusak jika tungku yang tiga itu masih tetap bekerja sama, masih tetap menempatkan diri pada posisinya masing-masing.
Adat Minangkabau diungkapkan sebagai “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Antara adat dan agama (syarak) tidak ada pertentangan. Syarak memberikan hukum atau syariat, kemudian adat melaksanakannya. Seperti ungkapan “syarak mangato, adat mamakai” (syarat berkata, adat memakai). Dari dua konsep itu (adat dan syarak), dibutuhkan dua unsur pimpinan, yaitu penghulu (niniak mamak) dan alim ulama. Kemudian sebagai unsur ketiga dibutuhkan undang-undang. Undang-undang itu adalah cadiak pandai yang menguasainya. Dengan demikian ada adat, ada agama, dan ada undang-undang.
Adanya ketiga unsur pemimpin tersebut melahirkan “tali tigo sapilin” (tali tiga sepilin). Tali tigo sapilin adalah syarak, adat dan undang-undang. Ketiga unsur tersebut dibutuhkan oleh masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya. Agama dibutuhkan untuk mengatur hidup di dunia dan menuju jalan ke akhirat. Adat dibutuhkan untuk melaksanakan ajaran agama tersebut. sedangkan undang-undang diperlukan untuk menetapkan kebijaksanaan dalam menjalankan adat dan agama. Dengan demikian, masyarakat Minangkabau memiliki perangkat pimpinan yang lengkap serta perangkat aturan yang sempurna.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.