Kewajiban Mamak (Paman) Sebagai Alih Waris di Sumatera Barat

Waris atau warisan adalah pusaka yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pusaka tersebut dapat berupa harta dan dapat pula berupa gelar. Warisan di Minangkabau yang menganut matrilineal diturunkan dari niniak kepada mamak dan dari mamak kepada kemenakan. Pusaka (waris) tidak dapat diturunkan oleh seorang laki-laki kepada anaknya.

Kewajiban Mamak Sebagai Alih Waris

Harta di Minangkabau menjadi milik perempuan. Pusaka gelar dan pusaka harta hanya perempuanlah yang diberi hak atasnya. Oleh karena itu, gelar pusaka diberikan didasarkan kepada garis keturunan ibu (matrilineal), gelar itu dipakai laki-laki dalam keturunan tersebut. pusaka harta berupa benda juga diberikan kepada perempuan, tetapi untuk keselamatanya dan pemeliharaannya dipertanggungjawabkan oleh seorang laki-laki. Laki-laki yang bertanggungjawab tersebut adalah laki-laki tertua di kalangan keluarga. Laki-laki tersebut adalah mamak kapala waris.

Mamak kepada waris itu disebut juga dengan “tungganai”. Kewajibannya, selain menyelamatkan harta yang menjadi warisan dari mamaknya, ia juga menjadi pemimpin bagi semua kemenakan “saparuik”. Hal yang lebih penting ialah, mamak kepala waris bertanggung jawab untuk mengembangkan warisan itu sehingga dapat memelihara keutuhan, kebersamaan, dan kesejahteraan kemenakanya.

Mamak kepala waris hanya berhak untuk menjadi atau memelihara harta warisan tersebut. ia tidak berhak untuk memilikinya atau menggunakannya. Penggunaannya diatur oleh “Bundo Kanduang”. Hasil harta pusaka itu sendiri hanya dapat digunakan oleh kemenakannya dan diatur oleh perempuan. Jadi, meskipun mamak kepala waris memiliki kekuasaan untuk mengepalai hartanya ia tidak dapat berbuat sewenang-wenang menggunakan harta tersebut.

Seperti diungkapkan terdahulu, di dalam sebuah kaum terdapat beberapa tungganai. Dengan demikian, di dalam suatu kaum terdapat pula beberapa mamak kepala waris. Kedudukan mamak tungganai (kepala waris) setingkat lebih rendak di bawah mamak kepala kaum menurut adat Minangkabau.


Sumber Referensi:


Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.



image: balimbing.wordpress.com

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال