Dalam kekerabatan matrilineal, seorang suami juga menjadi sumando diatas rumah istrinya. ia dipanggil sumando oleh saudara-saudara laki-laki istrinya. sebagai sumando, bapak memiliki kewajiban tertentu yang harus dipenuhinya. Selain itu, sebagai sumando, bapak adalah tamu terhormat di rumah istrinya. ia menjadi tamu, karena kehadirannya di rumah istri dijemput secara adat oleh keluarga istri.
Sebagai sumando, bapak berkewajiban untuk mengikuti segala ketentuan adat yang berlaku. Ia harus patuh kepada perintah mamak. Adat yang berlaku di rumah istrinya juga harus dijalankan. Selain itu, bapak sebagai sumando harus memiliki budi pekerti yang baik, tidak berbuat atau bertingkah laku menurut kehendak hatinya. Ia harus arif dan bijaksana, tahu dengan “kato malereang” tahu dengan “kato kieh” baik yang diungkapkannya maupun yang diungkapkan oleh orang di atas rumah istrinya.
Seorang sumando harus patuh kepada mamak di rumah istri, oleh karena ia seperti “abu di ateh tunggua”. Ia dapat bertahan di atas rumah ketika “angin tidak kencang”. Kalau “angin kencang”, ia akan pergi, akan meninggalkan rumah. Artinya kedudukan bapak sebagai sumando tidaklah kuat, ia mudah pergi, mudah melepaskan diri, terutama bila kesesuaian dengan istrinya tidak ada lagi.
Jika terjadi perceraian, sumando (bapak) yang meninggalkan rumah. Istri tetap berada di rumahnya, istri tetap tinggal di rumah gadangnya, ia akan menjadi tanggungjawab mamaknya. Namun demikian, sebagai orang yang beradat, ia harus mengikuti aturan tertentu. Jika dahulu ia dijemput secara adat, maka perginya setelah perceraian juga menurut adat yang berlaku. Dalam sebuah ungkapan menyatakan “datang tampak muka, pergi tampak punggung”, begitu menurut adat Minangkabau.
Oleh pihak keluarga istri, sumando tidak diberi kewajiban apa-apa. ia diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, ia benar-benar dihormati. Termasuk hormat kepada keluarganya. Perlakuan sumando itu disebut “sarupo meneteng minyak panuah”, artinya diperlakukan sangat hati-hati. Perasaannya selalu dijaga supaya jangan tersinggung. Hal itu dimaksudkan, agar jangan terjadinya perceraian karena tingkah laku istri, tingkah laku mamak rumah, tingkah laku mertua, dan tingkah laku saudara istri.
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat empat penilaian terhadap sumando. Keempat penilaian itu adalah “sumando bapak paja (sumando bapak anak)” yaitu sumando yang bertingkah sebagai “pejantan” saja, tidak menghiraukan keadaan istrinya. kedua “sumando kacang miang” yaitu sumando yang kerjanya membuat onar, memecah belah, dan mengacau kehidupan rumah tanggan istrinya. sumando seperti ini disebut juga “sumando langau hijau” yaitu suka kepada hal-hal yang kotor dan busuk. Ketiga “sumando lapiak buruak (sumando tikar buruk”, yaitu sumando yang suka menguras harta istrinya. keempat “sumando niniak mamak”, yaitu sumando yang selalu memahami suka duka kehidupan rumah tangga istrinya.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Sebagai sumando, bapak berkewajiban untuk mengikuti segala ketentuan adat yang berlaku. Ia harus patuh kepada perintah mamak. Adat yang berlaku di rumah istrinya juga harus dijalankan. Selain itu, bapak sebagai sumando harus memiliki budi pekerti yang baik, tidak berbuat atau bertingkah laku menurut kehendak hatinya. Ia harus arif dan bijaksana, tahu dengan “kato malereang” tahu dengan “kato kieh” baik yang diungkapkannya maupun yang diungkapkan oleh orang di atas rumah istrinya.
Seorang sumando harus patuh kepada mamak di rumah istri, oleh karena ia seperti “abu di ateh tunggua”. Ia dapat bertahan di atas rumah ketika “angin tidak kencang”. Kalau “angin kencang”, ia akan pergi, akan meninggalkan rumah. Artinya kedudukan bapak sebagai sumando tidaklah kuat, ia mudah pergi, mudah melepaskan diri, terutama bila kesesuaian dengan istrinya tidak ada lagi.
Jika terjadi perceraian, sumando (bapak) yang meninggalkan rumah. Istri tetap berada di rumahnya, istri tetap tinggal di rumah gadangnya, ia akan menjadi tanggungjawab mamaknya. Namun demikian, sebagai orang yang beradat, ia harus mengikuti aturan tertentu. Jika dahulu ia dijemput secara adat, maka perginya setelah perceraian juga menurut adat yang berlaku. Dalam sebuah ungkapan menyatakan “datang tampak muka, pergi tampak punggung”, begitu menurut adat Minangkabau.
Oleh pihak keluarga istri, sumando tidak diberi kewajiban apa-apa. ia diperlakukan sebagai tamu yang terhormat, ia benar-benar dihormati. Termasuk hormat kepada keluarganya. Perlakuan sumando itu disebut “sarupo meneteng minyak panuah”, artinya diperlakukan sangat hati-hati. Perasaannya selalu dijaga supaya jangan tersinggung. Hal itu dimaksudkan, agar jangan terjadinya perceraian karena tingkah laku istri, tingkah laku mamak rumah, tingkah laku mertua, dan tingkah laku saudara istri.
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat empat penilaian terhadap sumando. Keempat penilaian itu adalah “sumando bapak paja (sumando bapak anak)” yaitu sumando yang bertingkah sebagai “pejantan” saja, tidak menghiraukan keadaan istrinya. kedua “sumando kacang miang” yaitu sumando yang kerjanya membuat onar, memecah belah, dan mengacau kehidupan rumah tanggan istrinya. sumando seperti ini disebut juga “sumando langau hijau” yaitu suka kepada hal-hal yang kotor dan busuk. Ketiga “sumando lapiak buruak (sumando tikar buruk”, yaitu sumando yang suka menguras harta istrinya. keempat “sumando niniak mamak”, yaitu sumando yang selalu memahami suka duka kehidupan rumah tangga istrinya.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.