Pernikahan di Minangkabau mengandung makna yang luas dan mendalam. Makna yang luas tergambar dalam pembentukan kerabat baru atau terciptanya hubungan antara dua keluarga. Makna yang dalam terlihat pada penerapan suruhan agama Islam. Jadi pernikahan bukan hanya sekedar pertemuan dua insan yang berlainan jenis dalam suatu rumah tangga, tetapi lebih dalam dan lebih luas dari itu.
Peristiwa perkawinan (pernikahan) adalah peristiwa pembentukan hubungan baru antar keluarga. Dengan suatu pernikahan terbentuk kekerabatan baru, akan tercipta “sumando dan sumandan, ipa dan bisan, mintuo dan minantu”. Jika perkawinan itu melahirkan individu-individu baru, sehingga akan terbentuk pula hubungan kekerabatan baru seperti “induak bako dan anak pisang”. Kekerabatan dengan berbagai sebutan tersebut adalah akibat dari terjadinya relasi (hubungan) baru antara dua keluarga. Dengan demikian jalinan antara satu individu lain secara otomatis membuat jalinan antara keluarga.
Pernikahan merupakan jalinan antar individu dan jalinan antar keluarga. Jalinan antar keluarga terwujud dalam pertemuan antar dua rumah gadang. Oleh karena pernikahan dilakukan antara dua orang yang berlainan suku, maka rumah gadang pun berlainan. Dengan demikian keluarga (warga) dari satu rumah gadang dengan rumah gadang yang lain telah membentuk hubungan kekerabatan pula. Hal itu berarti dapat menambah luas kekolektifan masyarakat Minangkabau.
Pernikahan “bermakna dalam” karena mengikuti syariat Islam. Menurut Islam (syarak), pernikahan adalah mengucapkan aqad nikah di hadapan kadhi dan diketahui beberapa orang saksi. Melaksanakan syariat Islam mengandung makna mengikuti ajaran Allah. Hal itu merupakan bagian yang amat penting dalam kehidupan orang Minangkabau karena ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Peristiwa perkawinan (pernikahan) adalah peristiwa pembentukan hubungan baru antar keluarga. Dengan suatu pernikahan terbentuk kekerabatan baru, akan tercipta “sumando dan sumandan, ipa dan bisan, mintuo dan minantu”. Jika perkawinan itu melahirkan individu-individu baru, sehingga akan terbentuk pula hubungan kekerabatan baru seperti “induak bako dan anak pisang”. Kekerabatan dengan berbagai sebutan tersebut adalah akibat dari terjadinya relasi (hubungan) baru antara dua keluarga. Dengan demikian jalinan antara satu individu lain secara otomatis membuat jalinan antara keluarga.
Pernikahan merupakan jalinan antar individu dan jalinan antar keluarga. Jalinan antar keluarga terwujud dalam pertemuan antar dua rumah gadang. Oleh karena pernikahan dilakukan antara dua orang yang berlainan suku, maka rumah gadang pun berlainan. Dengan demikian keluarga (warga) dari satu rumah gadang dengan rumah gadang yang lain telah membentuk hubungan kekerabatan pula. Hal itu berarti dapat menambah luas kekolektifan masyarakat Minangkabau.
Pernikahan “bermakna dalam” karena mengikuti syariat Islam. Menurut Islam (syarak), pernikahan adalah mengucapkan aqad nikah di hadapan kadhi dan diketahui beberapa orang saksi. Melaksanakan syariat Islam mengandung makna mengikuti ajaran Allah. Hal itu merupakan bagian yang amat penting dalam kehidupan orang Minangkabau karena ungkapan “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.