Sistem Pemerintahan (Demokrasi) berdasarkan Adat Minangkabau

Sistem Pemerintahan (Demokrasi) Minangkabau

Di minangkabau terdapat dua sistem yang berpengaruh terhadap politik pemerintahan adat. kedua sistem tersebut sudah sangat dikenal sekali, yaitu bodi caniago dan koto piliang. Pada topik lain sudah di jelaskan bahwa bodi caniago menerapkan sistem demokrasi dan koto piliang menerapkan sistem otokrasi. Selain mempengaruhi politik pemerintahan, kedua sistem ini juga mempengaruhi watak masyarakat minangkabau.

Dalam sebuah ungkapan dijelaskan :

Pisang sikalek-kalek utan
Pisang batu nan bagatah
Bodi caniago inyo bukan
Koto piliang inyo antah

Berdasarkan ungkapan tersebut, didapati bahwa di dalam minangkabau ada dua penerapan sekaligus kedua sistem tersebut. Sehingga lahirlah sebuah penerapan pemerintahan adat yang khas di minangkabau.  

Demokrasi bodi caniago dapat disebut juga dengan demokrasi murni. Dimana demokrasi yang dipakai adalah demokrasi langsung. Seseorang yang disebut mamak langsung berhubungan dengan kemenakannya. Mamak, khususnya pangulu tidak memiliki tingkatan, atau memiliki kedudukan yang sama. Bodi caniago lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam segala permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. Karena memang prinsipnya adalah musyawarah tersebut biasanya tidak ada permasalahan yang tidak dapat terselesaikan. Kalau dalam adat minangkabau biasanya disebut “indak ado kusuik nan indak salasai, indak ado karuah nan indak janiah”. 

Sedangkan koto piliang di sebut juga dengan demokrasi tidak langsung. Dimana seorang mamak pangulu tidak langsung berhubungan dengan rakyatnya. Hal tersebut dikarenakan dalam aliran ini pangulu memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkatan tersebut dimulai dari mamak tungganai, yang berhubungan dengan tingkat di atasnya yaitu pangulu andiko. Pangulu andiko berhubungan dengan tingkat di atasnya yang disebut dengan pangulu kaampek suku. Lalu pangulu kaampek suku ini berhubungan dengan pangulu pucuak. Pangulu pucuak adalah tingkatan yang paling atas dalam suatu nagari.  sistem ini dikenal juga dalam minangkabau dengan “bajanjang naik, batanggo turun”.

Kedua sistem inilah yang menjadi dasar-dasar lahirnya sistem yang khas diminangkabau yang kita sebutkan tadi. Dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari pengaruh dari kedua sistem ini. Pada saat tertentu masyarakat menerapkan sistem bodi caniago, namun pada saat yang lain sistem koto piliang pun digunakan. Semua hal tersebut disesuaikan dengan keadaannya, tergantung kepada permasalahan yang terjadi.

Jika dilihat dari sudut pemimpin, diminangkabau pemimpin sangatlah fleksibel atau lentur. Semua itu menggambarkan kebijaksaan dan kearifan seorang pemimpin. Dalam adat di jelaskan “kandua badantiang-dantiang, tagang bajelo-jelo”. Unngkapan tersebut menjelaskan, bahwa seorang pemimpin bukanlah orang yang kaku  dalam menyelesaikan tugasnya, namun memiliki kearifan dan kebijaksanaan.

Dalam kato pusako (kata pusaka) minangkabau juga mengungkapkan seperti berikut :

Urang nan arif bijaksano
Tahu jo kieh kato sampai
Tahu jo ereng dengan gendeng
Tahu jo runciang kamancucuak
Tahu jo latiang kamanganai
Tahu jo dahan kamaimpok
Alun bakilek alah bakalam
Takilek ikan dalam aia
Lah tantu jantan batinonyo

Dari penjelasan tersebut, kita mendapat gambaran lagi, seperti apa pemimpin dalam minangkabau. Kearifan yang kita maksudkan tadi, mengartikan bahwa seorang pemimpin di minangkabau mengetahui dengan tepat sistem yang akan digunakannya dalam memimpin anak-kemenakannya. Sehingga setiap keputusan yang di ambil selalu mengenai sasaran dan selalu dapat diterapkan dalam masyarakat.

Dilihat dari masyarakat, diminangkabau tentu mereka juga tidak bisa terus-terusan diperlakukan secara otoriter oleh pemimpinnya. Namun tidak juga semua bisa dilaksanakan secara demokrasi. Masyarakat mengharapkan untuk menjalankan kedua sistem ini secara beriringan sesuai dengan persoalannya. Masyarakat dapat menerima demokrasi dan otokrasi dalam batas-batas tertentu. Dalam adat minangkabau di ungkapkan “ kamanakan barajo kamamak, mamak barajo ka pangulu”. Jadi otokrasi yang diterapkan mamak dan pangulu menuntuk demokrasi dibaliknya.

Dalam ungkapan lain juga dijelaskan sebagai berikut:

Pancaringek jo batang kapeh
Tumbuah sarumpun jo batang dadok
Duri nan  tumbuah tiok tangkai
Tampuo basarang tantang baniah
Ingek-ingek nan di ateh
Nan dibawah kok maimpok
Tirih kok datang dari lantai
Galodok kok datang dari ilia

Ungkapan tersebut memberitahukan kepada pemimpin, suapaya tidak menerapkan otokrasi secara terus menerus. Ungkapan tersebut juga mengandung arti bahwasanya kemenakan juga memiliki kekuasaan dan dapat menjatuhkan pemimpin. Kekuasaan yang dimiliki kemenakan tersebut juga merupakan wujud dari demokrasi minangkabau.

Ungkapan lain dalam minangkabau juga mengatakan sebagai berikut :

Putuih rundiag dek sakato
Rancak rundiang di sapakati
Kato surang dibulati
Kato basamo kato mufakat
Bajanjang naik batanggo turun
Naik dari janjang nan dibawah
Turun dari janjang nan diateh
Titiak dari langik
Mambasuik dari bumi

Sehingga ada pertemuan antara dua kehendak, pertama dari pihak pemimpin dan kedua dari pihak kemenakan (rakyat). Sehingga melahirkan demokrasi yang khas dalam masyarakat minangkabau. Demokrasi ini hingga sekarang masih dipakai oleh masyarakat minangkabau.

Posting Komentar

Apa Pendapat Anda?

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال