Seperti yang sudah sama – sama kita ketahui bahwasanya orang Minangkabau sangat memuliakan rumah gadang. Bagi mereka rumah gadang adalah suatu aset yang tidak ternilai harganya. Begitupun pemiliknya, yang merupakan orang – orang terhormat dan terpandang. Di dalam rumah gadang mereka sangat menjunjung tinggi nilai – nilai yang ada. Nilai – nilai tersebut berasal dari adat yang berlaku. adat tersebut bersumber dari agama, lalu agama tersebut bersumber dari kitabullah.
Di dalam rumah gadang, tinggal sekelompok orang satu garis keturunan. Orang –orang yang tinggal di sana hendaklah orang –orang yang mempunyai tatakrama dan martabat yang tinggi. Sebab, kita tahu, rumah gadang adalah kebanggaan dan aset berharga bagi orang minangkabau. Selain itu rumah gadang juga merupakan lambang atau simbol kepribadian atau watak bagi masyarakat minangkabau.
Tatakrama yang di maksud dalam hal ini meliputi cara berfikir, cara berbicara, dan cara bertindak. Semua itu harus di ajarkan sejak usia dini oleh ibu sebagai bundo kanduang dan mamak sebagai pemimpin, kepada anak – kemenakannya.
Sesuai dengan topik yang di bicarakan, ada beberapa hal yang harus di ketahui dan hendaknya di terapkan di dalam rumah gadang. Hal-hal yang di maksud yaitu, tentang cara duduk di rumah gadang, cara berbicara di rumah gadang, dan cara bertindak di rumah gadang. Sebenarnya masih banyak lagi yang harus di ketahui tentang tatakrama di minangkabau. Pada artikel kali ini kita hanya akan membahas point tersebut secara umumnya saja.
TATAKRAMA DUDUK DI RUMAH GADANG
Salah satu keunikan atau bisa di sebut dengan ciri khas di rumah gadang , bahwasanya tidak ada kursi, meja, atau tempat duduk lainnya. Maka dari itu, setiap orang duduk di atas lantai yang beralaskan tikar di atasnya. Duduk di atas tikar, bukan berarti bisa se-enaknya duduk saja, melainkan mempunyai tatakrama dan nilai yang harus di patuhi. Sebab, seperti yang telah di jelaskan tadi, rumah gadang adalah tempat yang bermartabat.
Ada aturan tentang cara duduk di rumah gadang yang hendaknya harus di patuhi oleh setiap orang. Jika laki – laki, maka cara duduknya di sebut dengan bersela, jika perempuan cara duduknya disebut dengan bersimpuh. Duduk bersela dan bersimpuh ini, merupakan nilai mutlak dan salah satu tatakrama yang sangat penting di dalam rumah gadang. Bersela dan bersimpuh di anggap sebagai duduk yang beradat. Apalagi kalau seandainya dalam rangka pertemuan adat atau acara penting, tentu saja aturan ini harus di lakukan.
Selain itu, pernah juga kita membahas, bahwasanya rumah gadang merupakan tempat proses berlangsungnya pendidikan bagi anak – kemenakan. Mamak sebagai pemimpin dan ibu sebagai bundo kanduang, berkewajiban untuk mendidik. Salah – satunya adalah hal ini. Apabila seorang anak atau kemenakan tidak mengikuti aturan duduk yang benar, maka hendaklah untuk di tegur dan di ingatkan. Orang minangkabau mengatakan sebuah ungkapan “ ketek taraja –taraja, lah gadang tarubah tido”. Maka dari itu, hendaknya pendidikan yang dibenarkan tersebut, harus di ajarkan sejak usia dini. Sebab, jika sudah besar, maka akan sulit untuk merubahnya.
Bersela atau bersimpuh juga mempunyai ketentuan, seperti tidak boleh berputar putar atau tidak boleh gelisah. Jika seandainya terjadi yang demikian, walaupun orang tersebut duduk sesuai dengan aturan, orang tersebut masih belum dapat di katakan sebagai orang yang beradat. Sebab, belum memenuhi tatakrama tentang cara duduk yang di terapkan dalam rumah gadang.
Selain cara duduk, Tempat dimana seseorang duduk, juga memiliki aturan. Tempat dimana seseorang duduk tersebut ditentukan oleh fungsi orang tersebut di dalam kekerabatan matrilineal. aturan sesuai fungsi yang kita maksud yaitu:
1.mamak rumah atau laki – laki dewasa yang berasal dari keturunan “saparuik” di rumah gadang, duduk di tepi. Ia duduk membelakangi dinding depan dan menghadap ke ruang tengah.
Jika mamak rumah duduk menghadap pintu bilik atau menghadap ke kamar penghuni rumah, dan ia membelakangi halaman, maka cara duduk tersebut adalah salah atau belum “beradat”. Apalagi jika mamak rumah tersebut duduk di dekat pintu bilik atau kamar, itu hal yang lebih memalukan lagi. Kalau jaman dulu, salah dalam memilih tempat duduk seperti itu, bisa menjadi bahan gunjingan dalam masyarakat. Tapi untuk Sekarang mungkin tidak lagi begitu penting.
2. sumando, duduk di ruang tengah. Ia duduk membelakangi bilik atau kamar dan menghadap kepintu luar atau menghadap ke halaman.
Sumando tidak boleh duduk di tepi atau di depat. Jika sumando duduk di tempat yang salah maka di anggap belum mengerti tentang tatakrama duduk di rumah gadang.
Lalu, dalam benak, muncul pertanyaan, kenapa untuk duduk saja harus ada aturannya, bukankah duduk di mana pun, itu sama saja?. jelas jawabannya, hal tersebut tidak di buat begitu saja tanpa ada makna di dalamnya. Makna yang terdapat dalam aturan tempat duduk tersebut, yaitu:
1.mamak duduk menghadap ke bilik, melambangkan bahwa seorang mamak harus senantiasa mengawasi kemenakannya. Mamak selalu memperhatikan dan menyimak kemenakannya di rumah gadang. Semua itu sudah terdapat dalam ungkapan adat “ siang di caliak – caliak, malam di danga – danga”. Itu makna dari aturan tempat duduk mamak tersebut untuk menjalankan fungsi pengawasan.
2. sumando duduk membelakangi kamar atau bilik, memberi arti bahwasanya sumando bukanlah pemiliki rumah. Tetapi ia adalah tamu terhormat di rumah gadang. Selain itu ia juga di sebut sebagai “abu di ateh tunggua” di atas rumah gadang. Artinya, Sumando bisa saja pergi atau keluar dari rumah gadang apabila terjadi perceraian karena ada permasalah yang besar. Maka dari itu, hendaknya ada penghalang atau pengawas yang akan memberi bantuan serta mengawasi, agar setiap permasalah yang terjadi dapat di atasi dan di selesaikan dengan baik – baik. Sehingga tidak terjadi perceraian dan sumando tidak keluar di rumah gadang. Nah di sinilah mamak berperan sebagai penghalang agar sumando tidak mudah keluar dari rumah gadang, karena mamak duduk di depan pintu. Itulah makna yang terdapat dari aturan tempat duduk tersebut.
TATAKRAMA BERBICARA DI RUMAH GADANG
Pada masa dahulunya, setiap orang yang akan naik ke atas rumah gadang, haruslah bersih terlebih dahulu. biasanya di bawah tangga, di depan pintu masuk selalu di sediakan peralatan untuk bersih – bersih. Di sana di sediakan tempat air, biasanya disebut dengan “cibuik mariau”, tempat berpijak ketika mencuci kaki disediakan batu yang disebut dengan “batu talapakan”, dan untuk mengambil air disediakan timba yang disebut dengan “tariang bapanto”. Jadi, setiap orang yang akan naik kerumah gadang, harus mencuci kaki terlebih dahulu. sebab rumah gadang adalah tempat yang bersih.
Selain itu setiap orang yang bertamu ke rumah gadang, tidak boleh langsung memasuki rumah gadang. Pada saat tamu tersebut sudah berada di halaman rumah gadang, harus memberi aba – aba terlebih dahulu. jika tamu tersebut adalah perempuan, maka ia harus berseru, untuk mengetahui di rumah gadang tersebut ada orang atau tidak. Jika tamu tersebut adalah laki – laki, biasanya memberi tanda ada tamu dengan batuk – batuk kecil. Semua itu, bagi masyarakat minangkabau merupakan suatu cara untuk menunjukan kehalusan dan kearifan dalam masyarakat itu sendiri.
Bagi pemilik rumah, jika mendengar tanda ada tamu, haruslah bersiap – siap menerima tamu. Rumah yang kurang rapi, segera di rapikan. Jika lantai kurang bersih, terlebih dahulu di sapu, lalu tikar di bentangkan. Jadi aba – aba dari tamu merupakan bentuk komunikasi konversional antara tuan rumah dengan tamunya. Hal tersebut merupakan suatu kesepakatan yang telah di pahami oleh tamu dan penghuni rumah.
Begitu juga dengan tatakrama dalam berbicara di rumah gadang. Setiap orang harus memiliki tenggang rasa yang tinggi dalam berbicara. Dalam hal ini, masyarakat minangkabau menyabutnya dengan “raso dan pareso”. Sebab, rumah gadang terdapat banyak keluarga yang merupakan satu garis keturunan yang disebut dengan “saparuik”. Tatakrama di atur sedemikian rupa agar tidak mengganggu penghuninya yang lain.
Seorang ibu, jika hendak berbicara kepada anaknya haruslah lemah – lembut. Jika kepada menantu, ibu harus berbicara dengan penuh kearifan. Dalam berbicara ibu memang harus benar – benar berfikir tentang cara berbicaranya. Sedangkan mamak, jika hendak berbicara kepada orang lain, harus penuh dengan makna, pengertian dan mengandung nasehat.
Tatakrama berbicara dalam minangkabau, khususnya di rumah gadang, masyarakat memberlakukan yang di sebut dengan “kato nan ampek”. Kato nan ampek tersebut adalah, “kato mandaki, kato mandata, kato manurun dan kato malereang. “kato mandaki” (kata mendaki) merupakan cara berbicara orang yang lebih kecil kepada orang yang lebih besar. “kato manurun” (kata menurun) merupakan cara berbicara orang yang besar kepada orang lebih keil. “kato mandata” (kata mendatar) merupakan cara berbicara orang yang sama besar atau sebaya. “kato malereang” (kata melereng) merupakan cara berbicara sumando dengan mamak, mertua dengan menantu dan sebaliknya.
TATAKRAMA BERPERILAKU DI RUMAH GADANG
Setiap tindakan dan perbuatan yang di lakukan di minangkabau ada aturannya. Masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai – nilai da norma – norma yang di terapkan. Norma tersebut di ungkapkan yang disebut dengan “kato – kato” (kata – kata). Khususnya dalam tatakrama dalam bertindak dan berbuat di minangkabau di atur dala ungkapan salah satunya yaitu “ malabihi ancak – ancak, mengurangi sio – sio”. Maksudnya dalam bertindak hendaknya jangan berlebihan, karena tindakan atau perbuatan yang berlebihan itu akan membawa kepada sifat ria. Sebalinya jika, di kurang dari seharusnya juga tidak baik, karena akan terjadi kesia – siaan.
Ungkapan lain juga mengungkapkan “kato sapatah di pikiri, jalan salangkah madok suruik”. Dalam ungkapan tersebut terdapat makna, jika melakuka sesuatu hendaknya di pikirkan terlebih dahulu sebelum berbuat, agar tidak terjadi kesalahan yang sia – sia karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Jadi dalam bertindak dan berbuat sesuatu di rumah gadang, hendaknya berhati – hati. Jangan sampai melakukan kesalahan, karena di rumah gadang terdiri dari banyak anggota keluarga. semua itu sudah di atur dalam norma – norma yang di ungkapkan dalam bentuk “kata –kata”.