Rangkiang berasal dari kata “ruang hiang Dewi Sri”. Kemudian terjadi perubahan bunyi “ruang” menjadi “rang” dan terjadi penyesuaian bunyi menjadi “kiang”. Akhirnya diucapkan menjadi “rangkiang”. Sedangkan “Dewi Sri” adalah Dewi Padi. Rangkiang mengandung makna “ruang tempat menyimpan padi”, nama lain disebut dengan “lumbuang” (lumbung).
Rumah gadang adalah rumah kaum. Rumah milik bersama dari satu kaum. Di samping memiliki rumah, kaum juga memiliki harta bersama atau harta serikat. Harta serikat itu merupakan harta pusaka, harta yang turun-temurun dari nenek moyang. Keutuhan rumah gadang dan keutuhan harta pusaka selalu terpelihara oleh suatu kaum. Oleh karena itu, di samping rumah gadang didirikan rangkiang atau lumbung untuk menyimpan hasil sawah pusaka (harta pusaka) itu.
Pada hakikatnya, bangunan rangkiang sama dengan arsitektur rumah gadang. Rangkiang didirikan di atas empat tiang. Atapnya bergonjong. Pintunya terletak pada bagian atas salah satu dinding “singok”, yaitu bagian segitiga loteng. Untuk mencapai pintu dibuat tangga bambu yang dapat dipindahkan. Jika tidak digunakan disimpan di bawah kolong rumah gadang.
Padi yang ada di dalam rangkiang diambil sesuai dengan keperluannya. Keperluan atau kegunaan padi itu sudah diatur menurut ketentuan. Untuk apa padi digunakan, siapa yang menggunakan, dan kapan digunakan sudah ada aturannya menurut adat. Jadi, padi yang di dalamnya sebagai padi milik bersama suatu kaum, tidak dibagi-bagi oleh anggota kaum tersebut. akan tetapi, padi tersebut ditumpuk di dalam rangkiang dan diambil apabila mau dipergunakan.
Jika musim menuai telah datang, padi diangkut ke rumah. Kemudian dimasukkan ke dalam rangkiang. Oleh karena rangkiang itu jumlahnya banyak, dan memiliki fungsi yang berbeda-beda masing-masingnya, semu padi dibagi ke dalam rangkiang tertentu. Pekerjaan mengisi rangkiang itu dilakukan bersama-sama oleh anggota kaum atau dibantu oleh orang lain. rangkiang yang ada di halaman itu terisi semuanya, tidak ada yang kosong.
Padi yang ada di dalam rangkiang berada di bawah pengawasan mamak kaum. Mamak kaum itu bisa mamak tungganai dan bisa pula mamak penghulu. Hal itu sangat tergantung kepada besar kecilnya kaum pemilik rumah gadang dan pemilik harta pusaka itu. Sedangkan kuncinya dipegang oleh wanita tertua di dalam kaum, disebut “bundo kanduang”. Jadi penanggungjawabnya secara moral ada dua orang, yaitu mamak sebagai pengawas dan bundo kanduang sebagai pemegang kunci.
Mamak sebagai pengawas dan bundo kanduang sebagai pemegang kunci berpegang teguh kepada adat yang berlaku. Keduanya mengeluarkan padi dan menggunakan padi dalam rangkiang sesuai dengan garis yang telah ditetapkan. Keduanya tidak menggunakan padi sesuai kehendak sendiri, tetapi berpedoman kepada aturan yang berlaku. Oleh karena itu, keutuhan keluarga rumah gadang tetap terpelihara dan keutuhan harta pusaka kaum tetap lestari.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Rumah gadang adalah rumah kaum. Rumah milik bersama dari satu kaum. Di samping memiliki rumah, kaum juga memiliki harta bersama atau harta serikat. Harta serikat itu merupakan harta pusaka, harta yang turun-temurun dari nenek moyang. Keutuhan rumah gadang dan keutuhan harta pusaka selalu terpelihara oleh suatu kaum. Oleh karena itu, di samping rumah gadang didirikan rangkiang atau lumbung untuk menyimpan hasil sawah pusaka (harta pusaka) itu.
Pada hakikatnya, bangunan rangkiang sama dengan arsitektur rumah gadang. Rangkiang didirikan di atas empat tiang. Atapnya bergonjong. Pintunya terletak pada bagian atas salah satu dinding “singok”, yaitu bagian segitiga loteng. Untuk mencapai pintu dibuat tangga bambu yang dapat dipindahkan. Jika tidak digunakan disimpan di bawah kolong rumah gadang.
Padi yang ada di dalam rangkiang diambil sesuai dengan keperluannya. Keperluan atau kegunaan padi itu sudah diatur menurut ketentuan. Untuk apa padi digunakan, siapa yang menggunakan, dan kapan digunakan sudah ada aturannya menurut adat. Jadi, padi yang di dalamnya sebagai padi milik bersama suatu kaum, tidak dibagi-bagi oleh anggota kaum tersebut. akan tetapi, padi tersebut ditumpuk di dalam rangkiang dan diambil apabila mau dipergunakan.
Jika musim menuai telah datang, padi diangkut ke rumah. Kemudian dimasukkan ke dalam rangkiang. Oleh karena rangkiang itu jumlahnya banyak, dan memiliki fungsi yang berbeda-beda masing-masingnya, semu padi dibagi ke dalam rangkiang tertentu. Pekerjaan mengisi rangkiang itu dilakukan bersama-sama oleh anggota kaum atau dibantu oleh orang lain. rangkiang yang ada di halaman itu terisi semuanya, tidak ada yang kosong.
Padi yang ada di dalam rangkiang berada di bawah pengawasan mamak kaum. Mamak kaum itu bisa mamak tungganai dan bisa pula mamak penghulu. Hal itu sangat tergantung kepada besar kecilnya kaum pemilik rumah gadang dan pemilik harta pusaka itu. Sedangkan kuncinya dipegang oleh wanita tertua di dalam kaum, disebut “bundo kanduang”. Jadi penanggungjawabnya secara moral ada dua orang, yaitu mamak sebagai pengawas dan bundo kanduang sebagai pemegang kunci.
Mamak sebagai pengawas dan bundo kanduang sebagai pemegang kunci berpegang teguh kepada adat yang berlaku. Keduanya mengeluarkan padi dan menggunakan padi dalam rangkiang sesuai dengan garis yang telah ditetapkan. Keduanya tidak menggunakan padi sesuai kehendak sendiri, tetapi berpedoman kepada aturan yang berlaku. Oleh karena itu, keutuhan keluarga rumah gadang tetap terpelihara dan keutuhan harta pusaka kaum tetap lestari.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.