Penghulu adalah andiko dari kaumnya atau raja dari kemenakannya. Hal itu dinyatakan dalam adat “kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu” (kemenakan beraja kepada mamak, mamak beraja kepada penghulu). Sebagai andiko atau raja ia menjadi kepala pemerintahan, menjadi hakim pendamai di dalam kaum. Selain itu ia juga menjadi jaksa dan pembela dalam perkara yang dihadapi kaumnya terhadap orang luar.
Di dalam masyarakat, penghulu juga sama dengan laki-laki di Minangkabau. Ia menjadi angota masyarakat, menjadi bapak dari anak-anaknya, menjadi sumado di rumah istrinya. sedangkan di nagari ia menjadi niniak mamak dan menjadi anggota Kerapan Adat Nagari (KAN). Kedudukannya sebagai pemimpin di dalam kaumnya dan sebagai niniak mamak di dalam nagari adalah yang membuat ia berbeda dengan laki-laki lainnya.
Dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum, penghulu memakai gelar “datuak”. Gelar yang ia terima sebagai warisan dari mamaknya. Gelar yang diterima itu disebut sako (gelar pusaka). Gelar itu jika ia sudah tua atau meninggal harus diturunkan kepada kemenakannya. Dengan demikian penghulu berkedudukan pula sebagai penerus gelar pusaka dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Selain gelar, ia juga menerima warisan berupa harta benda (harta pusako). Harta pusaka tersebut wajib dipelihara. Harta itu tidak boleh dijual atau digadaikan. Hata itu harus tetap utuh, jika memungkinkan, penghulu harus menambahnya. Oleh karena dengan harta pusaka itulah penghulu mensejahterakan kemenakan sekaumnya.
Jadi kedudukan penghulu sebagai pemimpin kaum adalah menjadi pemimpin. Untuk kedudukan tersebut ia memakai gelar pusaka yang disebut ‘datuak’. Untuk menjaga kebesaran gelar pusaka dan melaksanakan kepemimpinannya, ia menerima warisan harta pusaka. Harta pusaka tersebut dinyatakan dalam adat sebagai berikut:
Sawah ladang banda buatan,
Sawah batumpak di nan data,
Ladang babidang di nan lereng,
Banda baliku turuik bukik,
Cancang latiah niniak muyang,
Tambilang basi rang tuo-tuo,
Usah dijua digadaikan,
Kalau sumbiang mintak dititik,
Batah batampo hilang bacari,
Tarapuang bakaik tabanam basalami,
Kurang ditukuak, ketek dipagadang,
Senteng dibilai, singkek di uleh.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Di dalam masyarakat, penghulu juga sama dengan laki-laki di Minangkabau. Ia menjadi angota masyarakat, menjadi bapak dari anak-anaknya, menjadi sumado di rumah istrinya. sedangkan di nagari ia menjadi niniak mamak dan menjadi anggota Kerapan Adat Nagari (KAN). Kedudukannya sebagai pemimpin di dalam kaumnya dan sebagai niniak mamak di dalam nagari adalah yang membuat ia berbeda dengan laki-laki lainnya.
Dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum, penghulu memakai gelar “datuak”. Gelar yang ia terima sebagai warisan dari mamaknya. Gelar yang diterima itu disebut sako (gelar pusaka). Gelar itu jika ia sudah tua atau meninggal harus diturunkan kepada kemenakannya. Dengan demikian penghulu berkedudukan pula sebagai penerus gelar pusaka dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Selain gelar, ia juga menerima warisan berupa harta benda (harta pusako). Harta pusaka tersebut wajib dipelihara. Harta itu tidak boleh dijual atau digadaikan. Hata itu harus tetap utuh, jika memungkinkan, penghulu harus menambahnya. Oleh karena dengan harta pusaka itulah penghulu mensejahterakan kemenakan sekaumnya.
Jadi kedudukan penghulu sebagai pemimpin kaum adalah menjadi pemimpin. Untuk kedudukan tersebut ia memakai gelar pusaka yang disebut ‘datuak’. Untuk menjaga kebesaran gelar pusaka dan melaksanakan kepemimpinannya, ia menerima warisan harta pusaka. Harta pusaka tersebut dinyatakan dalam adat sebagai berikut:
Sawah ladang banda buatan,
Sawah batumpak di nan data,
Ladang babidang di nan lereng,
Banda baliku turuik bukik,
Cancang latiah niniak muyang,
Tambilang basi rang tuo-tuo,
Usah dijua digadaikan,
Kalau sumbiang mintak dititik,
Batah batampo hilang bacari,
Tarapuang bakaik tabanam basalami,
Kurang ditukuak, ketek dipagadang,
Senteng dibilai, singkek di uleh.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.