Bahan bangunan telah lengkap dan selesai diawetkan, sehingga pekerjaan membangun rumah gadang pun bisa dimulai. Kegiatan pertama yang dilakukan, yaitu “mancatak tiang tuo” (mencatak tiang tua). Tiang tuo itu didarahi dengan darah ternak yang dipotong. Adalanya didarahi dengan darah sapi, kambing, atau plaing sedikit dengan darah ayam.
Sejak itu, yang bekerja adalah para ahli, atau tukang pilihan. Memilih tukang itu juga dilakukan dengan musyawarah dengan musyawarah mufakat. Dikatakan tukang pilihan, sehubungan dengan ungkapan “tukang indak mambuang kayu” (tukang tidak membuang kayu). Oleh karena setiap kayu ada manfaatnya, tukang yang ahli tidak akan membuangnya. Semua potongan kayu akan ia gunakan. Kepandaian tukang dalam memanfaatkan kayu tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Nan kuaik ka jadi tunggak,
Nan luruih ka jadi balabeh,
Nan bungkuak ka bajak,
Nan lantiak jadi bubuangan,
Nan satampok ka papan tuai,
Panarahan ka jadi kayu api,
Abunyo ambiak ka pupuak.
Pekerjaan selanjutnya dilakukan setelah kayu selesai diolah. Pekeraan ini memakan banyak tenaga. Pertama adalah “batagak tunggak tuo” (mendirikan tunggak tua). Pekerjaan ini pada hakikatnya mendirikan semua tiang. Kenduri pada saat itu juga diadakan. Perjamuan juga dilaksanakan. Orang-orang yang penting juga diundang. Kemudian dilakukan do’a selamat atas pekerajaan itu.
Jika rumah sudah selesai , kegiatan kenduri juga dilakukan, yaitu “manaiki rumah” (menaiki rumah). Kenduri ini juga mengundang kerabat dekat. Niniak mamak di dalam nagari itu juga perlu hadir. Do’a selamat juga dilakukan. Dengan do’a selamat, semoga penghuni rumah tentram menempati rumah gadang yang baru tersebut. pada saat itu disampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral dan material, sehingga rumah itu dapat dibangun.
Begitulah secara ringkas upacara mendirikan rumah gadang di Minangkabau. Akan tetapi, disetiap nagari memiliki variasi upacara. Tiap nagari ada acara khususnya.
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Sejak itu, yang bekerja adalah para ahli, atau tukang pilihan. Memilih tukang itu juga dilakukan dengan musyawarah dengan musyawarah mufakat. Dikatakan tukang pilihan, sehubungan dengan ungkapan “tukang indak mambuang kayu” (tukang tidak membuang kayu). Oleh karena setiap kayu ada manfaatnya, tukang yang ahli tidak akan membuangnya. Semua potongan kayu akan ia gunakan. Kepandaian tukang dalam memanfaatkan kayu tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Nan kuaik ka jadi tunggak,
Nan luruih ka jadi balabeh,
Nan bungkuak ka bajak,
Nan lantiak jadi bubuangan,
Nan satampok ka papan tuai,
Panarahan ka jadi kayu api,
Abunyo ambiak ka pupuak.
Pekerjaan selanjutnya dilakukan setelah kayu selesai diolah. Pekeraan ini memakan banyak tenaga. Pertama adalah “batagak tunggak tuo” (mendirikan tunggak tua). Pekerjaan ini pada hakikatnya mendirikan semua tiang. Kenduri pada saat itu juga diadakan. Perjamuan juga dilaksanakan. Orang-orang yang penting juga diundang. Kemudian dilakukan do’a selamat atas pekerajaan itu.
Jika rumah sudah selesai , kegiatan kenduri juga dilakukan, yaitu “manaiki rumah” (menaiki rumah). Kenduri ini juga mengundang kerabat dekat. Niniak mamak di dalam nagari itu juga perlu hadir. Do’a selamat juga dilakukan. Dengan do’a selamat, semoga penghuni rumah tentram menempati rumah gadang yang baru tersebut. pada saat itu disampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral dan material, sehingga rumah itu dapat dibangun.
Begitulah secara ringkas upacara mendirikan rumah gadang di Minangkabau. Akan tetapi, disetiap nagari memiliki variasi upacara. Tiap nagari ada acara khususnya.
Sumber Referensi:
Amran, Rusli. 1981. Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Junus, Umar. 1984. Kaba dan Sistem Sosial Minangkabau, Suatu Problema Sosiologi Sastra. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Mahmud, St. dkk 1978. Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah. Limo Kaum: Tanpa Penerbit.
Navis, A.A 1986. Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Pt Pustaka Garafitipers.
Penghulu, M. Rasyid Manggis Dt. Rajo. 1982. Sejarah Ringkas Minangkabau dan Adatnya. Jakarta Mutiara.
Thaib, Darwis, glr. Dt. Sidi Bandoro. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau. Bukittinggi: NV Nusantara.
Zulkarnaini. 1994. Modul Mata Pelajaran Muatan Lokal SLTP Terbuka. Jakarta: Depdikbud, Proyek Peningkatan Mutu dan Pelaksanaan Wajib Belajar SLTP.
Ramayulis, dkk. Buku Mata Pelajaran Muatan Lokal tentang Sejarah Kebudayaan Minangkabau pada SD, SLTP, SLTA di Sumatera Barat. Padang: Tanpa Tahun, Tanpa Penerbit.
Penghulu, H. Idrus Hakimy Dt. Rajo. 1984. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung: Remaja Karya CV.
Syarifuddin, Amir. 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung.
Tuah, H.Datoek, tt. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.